KOMPAS.com - Ada sebuah fenomena perceraian yang mungkin jarang terdengar oleh sebagian besar masyarakat, yaitu grey divorce.
“Grey divorce adalah ketika perceraian terjadi pada pasangan yang berusia lebih dari 50 tahun,” jelas psikolog klinis sekaligus pendiri Cup of Stories, Fitri Jayanthi, M.Psi. saat dihubungi pada Selasa (7/10/2025).
Psikolog klinis dewasa Diandra Ayu Citi Wardhani, M.Psi. menambahkan, Rabu (8/10/2025), perceraian ini umumnya terjadi pada pasangan yang sudah menikah selama 20 tahun atau lebih.
Baca juga: Meryl Streep Akhiri Pernikahan 45 Tahun, Lagi-lagi Gray Divorce
Fitri menjelaskan bahwa penyebab yang sering ia lihat sepanjang menangani klien adalah stres atau konflik berkepanjangan.
“Karena mereka biasanya tahan-tahan. Mereka sudah kayak merasa, ‘ya sudah lah, kita sudah berumah tangga, jalanin saja’. Ketika ada konflik, mereka enggak berusaha untuk menyelesaikannya,” terang dia.
Pasangan yang sudah berada di usia matang ini membiarkan konflik tersebut sampai akhirnya menumpuk dan menjadi bom waktu.
“Biasanya, di awal pernikahan, pasangan memiliki ekspektasi tertentu tentang pernikahannya. Seiring berjalannya waktu, bisa jadi harapan ini belum sepenuhnya terwujud,” kata Diandra yang berpraktik di lembaga Ibunda.id dan Pusat Penguatan Karakter dan Konseling (P2K2) Universitas Padjadjaran.
Bahkan, ekspektasi mungkin tidak akan pernah terwujud karena pasangan, atau bahkan dirinya sendiri, mengalami krisis identitas karena melepaskan pekerjaan dan jabatannya akibat pensiun, dan harus menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi pasca-pensiun.
Sementara yang lain terus memikirkan apa yang harus dilakukan karena ekspektasi tidak terwujud dan bagaimana pernikahan bakal berjalan, sampai mereka mengalami kekhawatiran dan kekecewaan.
Baca juga: 10 Pasangan Terkenal yang Alami Gray Divorce, Berpisah di Usia 50-an
Masalah identitas diri berkaitan dengan kondisi anak yang sudah dewasa dan pisah rumah karena bekerja di tempat yang jauh, atau sudah menikah.
“Tanpa disadari, pernikahan yang dijalani puluhan tahun sebenarnya bukan ‘pernikahannya’, tetapi peran sebagai orangtua yang dijalani,” ujar Diandra yang juga berpraktik di Telkom University.
Ketika memiliki anak, fokus pasangan lebih tertuju pada merawat dan mendidik anak, karena identitas diri mereka adalah seorang ayah dan ibu, bukan suami dan istri.
Sehingga, ketika anak sudah dewasa dan bahkan pisah rumah, “ayah” dan “ibu” kebingungan, terutama jika pernikahan langsung dikaruniai anak. Sebab, artinya mereka menggunakan identitas itu untuk waktu yang sangat lama.
“Sebagai ‘suami’ dan ‘istri’ mereka kelimpungan (setelah anak pisah rumah), menjadi enggak cukup memahami dan menyadari peran sebagai suami dan istri,” kata Diandra.
Ketika tidak saling memahami, ditambah komunikasi yang terjalin tidak cukup baik dan jarang langsung menyelesaikan konflik, akan muncul konflik baru.