Penulis
KOMPAS.com – Kasus meninggalnya mahasiswa Universitas Udayana, berinisial TAP, memicu gelombang keprihatinan publik.
Di tengah duka, beredar pula percakapan yang berisi ejekan terhadap korban, bahkan setelah ia meninggal dunia.
Peristiwa ini menyoroti satu hal penting yang kerap luput di era digital: empati.
Banyak orang bisa dengan mudah menulis komentar tajam, membagikan unggahan sensitif, atau menertawakan seseorang tanpa berpikir panjang.
Padahal, di balik layar dan nama akun, selalu ada manusia nyata dengan perasaan dan batas emosinya masing-masing.
Menurut psikolog Vera Itabiliana, S.Psi., empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan, lalu menyesuaikan respons kita berdasarkan pemahaman itu.
“Di dunia maya, empati berarti menyadari bahwa di balik setiap akun ada manusia yang bisa terluka oleh kata-kata kita,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/10/2025).
Baca juga: Belajar dari Kasus PT Timah, Mengapa Perusahaan Harus Tegas terhadap Bullying?
Vera menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat seseorang mudah menulis komentar kasar tanpa berpikir panjang. Salah satunya adalah efek jarak digital.
“Ketika tidak berhadapan langsung, kita tidak melihat ekspresi wajah atau reaksi emosional lawan bicara. Akibatnya, rasa empati menurun,” jelasnya.
Selain itu, fenomena ikut-ikutan atau herd mentality juga berperan.
Saat melihat banyak orang meninggalkan komentar negatif, seseorang merasa tindakannya ‘normal’.
“Sebagian orang juga menyalurkan frustrasi pribadi lewat komentar di media sosial,” tambah Vera.
Baca juga: Orangtua yang Mendengarkan Bisa Lindungi Anak Jadi Korban Bullying
Perundungan digital atau cyberbullying tidak bisa dianggap remeh.
Bagi remaja dan mahasiswa, fase kehidupan mereka masih berada pada tahap pembentukan identitas diri.
Kata-kata negatif bisa mengikis rasa percaya diri, menimbulkan kecemasan, depresi, hingga perasaan tidak berdaya atau kesepian mendalam.
“Bagi anak muda, dunia maya itu nyata. Komentar jahat bukan sekadar tulisan di layar, tapi bisa terasa sama menyakitkannya seperti ejekan di dunia nyata,” tutur Vera.
Untuk mencegah hal serupa, Vera mengajak warganet membiasakan prinsip sederhana: “Pause Before Post.”
“Berhenti sejenak sebelum menulis, lalu tanya diri sendiri, apakah yang saya tulis akan menyakiti seseorang jika dibaca?” ujarnya.
Ia juga membagikan prinsip 3T agar setiap unggahan tetap sehat dan beretika:
Baca juga: Belajar dari Kasus Bullying Timothy, Psikolog: Empati itu Bentuk Tanggung Jawab Moral
Empati, menurut Vera, bukan hanya tentang merasa kasihan.
“Empati adalah kemampuan untuk mengatur diri agar tidak menyakiti orang lain,” jelasnya.
Ia mengingatkan, di tengah derasnya arus komentar dan opini, penting untuk tidak diam ketika melihat perundungan.
“Diam bisa diartikan mendukung. Kita bisa membantu dengan melaporkan konten negatif, memberi dukungan pribadi kepada korban, dan tidak menyebarkan ulang unggahan yang menyudutkan,” jelasnya.
“Empati adalah bentuk tanggung jawab moral di era digital, berpikir sebelum menulis, menahan diri sebelum bereaksi, dan berani membela tanpa mempermalukan," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang