Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Fenomena Gunakan Barang Mewah, Kebutuhan atau Gengsi?

Kompas.com - 31/10/2023, 13:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata

KOMPAS.com - Kehidupan yang penuh dinamika membuat pola pikir masyarakat berubah. Jika dulu barang-barang mewah adalah sesuatu yang hanya bisa dibeli oleh kalangan tertentu, kini hal tersebut pun dapat dimiliki semua orang.

Terlebih, menjamurnya platform penyedia cicilan dengan persyaratan yang mudah, membuat sikap konsumtif masyarakat meningkat. Ditambah lagi, ada tekanan dari lingkungan sekitar yang mengharuskan kita menggunakan barang tertentu agar mendapat pengakuan.

Dalam siniar Balada +62 episode “EMANG HARUS PAKE M*CBO*K DAN IP**NE BIAR KEREN?!” dengan tautan s.id/Balada62MBIP, Kukuh dan Dwik pun membahas fenomena ini. Menurut mereka, seharusnya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum membelinya.

Hal ini karena membeli barang mewah sebenarnya bukanlah kebutuhan utama. Lantas, mengapa banyak orang yang rela mengejarnya padahal hidup pas-pasan?

Marketing 4.0: Mengejar Gaya Hidup Mewah si Konsumen

Pada saat ini, hampir semua bisnis berlomba-lomba untuk menggaet konsumen agar tetap loyal mengenakan jasa atau produknya. Ditambah lagi, teknik pemasaran terbaru, yaitu Marketing 4.0 atau digital marketing bertujuan memenangkan hati para konsumen.

Kusumasari (2022) mengatakan marketing 4.0 mengintegrasikan gaya hidup dan substansinya di era ekonomi digital ini. Jika tak memiliki ‘gaya’, orang tersebut akan tertinggal dari lingkungannya.

Selain membutuhkan gaya, mereka juga ingin tahu substansinya: apakah nanti barang tersebut memiliki nilai lebih atau berdampak pada dirinya.

Baca juga: Berorientasi pada Tujuan, Apakah Penting?

Ditambah, teknik pemasaran yang digunakan saat ini adalah 5A, yaitu aware, appeal, ask, act, dan advocate. Artinya, setiap orang bisa membagikan pendapat mereka dan memengaruhi orang lain untuk membeli barang tersebut.

Itulah mengapa, hadir influencer yang memiliki pengaruh kuat terhadap pemasaran suatu brand. Apalagi, jika dalam konteks barang mewah, para influencer tersebut berada di kasta sosial yang dapat dikatakan tinggi.

Bagi audiens yang mudah terpengaruhi, mereka akan menganggap ini sebagai hal yang serius. Pada akhirnya, tertanam stigma atau stereotip dalam pola pikir mereka terhadap suatu barang atau brand.

Tekanan Lingkungan dan Citra Diri di Media Sosial

Menurut beberapa studi psikologi perilaku modern, banyak konsumen yang nekat membeli barang mewah, padahal tidak mampu secara finansial. Oleh karena itu, tak jarang beberapa dari mereka nekat mengambil cicilan berbunga hingga pinjaman ilegal yang mengancam nyawa.

Tindakan ini tidaklah bijak karena artinya orang tersebut tak mampu mengelola keuangan mereka. Akan tetapi, mereka tentu saja tak memikirkan hal ini karena lebih dulu mementingkan ego mereka yang mayoritas disebabkan oleh tekanan lingkungan.

Menurut Sivanathan dan Pettit (2010) keinginan membeli barang mewah dan bermerek ini kerap dilakukan setelah harga diri mereka jatuh. Dengan melakukan pembelian seperti ini, mereka berharap dapat mengembalikan harga diri.

Selain itu, kedua peneliti tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar orang lebih cenderung melakukan pembelian dengan kartu kredit, karena membeli secara tunai memberi dampak psikologis yang tidak nyaman bagi mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com