JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagai daerah di Indonesia memiliki ciri khas motif batik yang berbeda-beda.
Bahkan, ada daerah yang memiliki lebih dari satu motif, yang lahir dan berkembang di sana, salah satunya Pekalongan.
Kota Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik, karena memiliki produksi batik yang besar di Indonesia.
Baca juga: Jangan Pakai Batik Motif Tertentu untuk Clubbing, Simak Penjelasannya
Meskipun demikian, Pemerhati dan Motivator Batik Indra Tjahjani mengungkap, di Pekalongan ada motif batik yang mulai terancam punah.
“Saya belum melakukan penelitian secara khusus, batik daerah mana yang terancam punah. Tapi yang saya tahu, motifnya yang punah, karena pengrajinnya sudah wafat atau sudah terlalu sepuh, yaitu di Pekalongan,” kata Indra dalam Konferensi Pers dan Fashion Workshop: Hari Batik Nasional 2024 di Auditorium Tokopedia Tower, Jakarta Selatan, Rabu (2/10/2024).
Indra mengungkap, motif batik yang terancam punah itu adalah Batik Jlamprang. Jenis batik ini sempat sangat populer zaman dulu, tapi pengrajin batik yang membuatnya langsung dengan canting tulis sudah semakin langka.
Selain itu, pengrajin yang dulunya membuat batik Jlamprang dengan canting tulis sudah sangat tua dan memiliki keterbatasan fisik untuk kembali berkarya.
Ia menambahkan, saat ini produksi batik Jlamprang kebanyakan menggunakan cap. Sebab, jika dibuat dengan canting tulis, akan memerlukan waktu dan kemampuan khusus.
“Salah satu motif yang sudah jarang ini, nama motifnya yaitu Jlamprang. Motif Jlamprang sekarang ini kebanyakan cap, karena pembatik canting tulisnya sudah tidak sanggup lagi untuk berkarya,” tutur dia.
Motif batik Jlamprang memiliki ciri khas bentuk bulat dan kotak geometris yang saling berhimpitan, hingga menjadi pola yang padat. Motif ini biasanya menggunakan lebih dari dua jenis warna dalam satu kain.
Baca juga: 3 Upaya Menjaga Eksistensi Batik pada Generasi Muda
Teknik yang cukup kompleks dan membutuhkan banyak waktu, membuat para pengrajin batik Jlamprang sulit untuk mencari penerus.
“Sedangkan di tempat tersebut cukup sulit untuk mendapatkan regenerasi untuk mengerjakan batik Jlamprang itu dengan teknik tulis,” imbuh Indra.
Lebih lanjut, Indra menyebutkan bahwa upah pembatik yang rendah juga menjadi faktor penyebab minimnya generasi muda yang menjadi pengrajin batik.
“Memang sulit untuk mengajak yang muda-muda untuk berkecimpung di situ, karena memang honor mereka di bawah UMR, jadi kami tidak bisa menahan hal tersebut,” tambah dia.
Baca juga: Transformasi Batik Jakarta, Adopsi Corak Batik Jawa hingga Populerkan Ikon Kota
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang