Editor
KOMPAS.com – Dokter spesialis gizi klinik lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Mulianah Daya, M.Gizi, Sp.GK, mengingatkan, menjalani diet ekstrem atau tidak sehat dapat memicu sindrom "Yo-yo".
Sindrom Yo-yo terjadi ketika berat badan mengalami fluktuasi drastis dalam waktu singkat.
Bukannya sehat, kondisi tersebut sebaiknya justru dihindari.
"Misalnya, naik 5 kilogram, lalu turun 5 kilogram dalam waktu kurang dari tiga bulan, dan terjadi sebanyak dua hingga tiga kali. Itu yang disebut sindrom Yo-yo," ujar Mulianah dalam diskusi di Jakarta, Kamis (27/2/2025), seperti dilansir dari Antara.
Baca juga: 10 Makanan Terbaik untuk Makan Malam, Diet Friendly
Mulianah menjelaskan, ketika seseorang mengalami kenaikan berat badan, jumlah lemak dalam tubuh juga bertambah.
Namun, saat berat badan turun kembali, jumlah lemak tidak selalu berkurang, melainkan hanya mengecil ukurannya.
Contohnya, jika seseorang dengan berat badan 60 kilogram memiliki kadar lemak sekitar 20 persen, kemudian berat badannya naik menjadi 80 kilogram, kadar lemaknya pun meningkat, misalnya dari 20 persen menjadi 40 persen.
Baca juga: 30 Camilan Tinggi Protein untuk Diet, dari Kacang hingga Popcorn
Ketika berat badannya kembali ke 60 kilogram, jumlah sel lemak tetap sama, hanya ukurannya yang mengecil.
"Sel lemak bisa mengalami hipertrofi (pembesaran ukuran sel) dan hiperplasia (penambahan jumlah sel). Jika jumlahnya bertambah, itu yang berbahaya dalam sindrom Yo-yo," katanya.
Lemak tubuh yang berlebih dapat menyebar ke berbagai organ, termasuk liver dan pankreas, yang dikenal sebagai lemak visceral atau lemak perut.
Lemak ini bukan hanya berada di bawah kulit, tetapi juga menyelimuti organ dalam.
Jika tidak terkontrol, kondisi ini bisa berisiko bagi kesehatan.
"Semakin sering mengalami Yo-yo, semakin sulit menurunkan lemak di dalam tubuh. Bukan hanya menumpuk lemak, tetapi juga meningkatkan risiko gangguan metabolisme," ujar Mulianah.
Lebih lanjut, dr. Mulianah menambahkan bahwa sindrom Yo-yo dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
"Pasien yang mengalami Yo-yo atau memiliki penumpukan lemak berlebih akibat hipertrofi dan hiperplasia sel lemak, berisiko 1,5 kali lebih tinggi terkena penyakit jantung dibandingkan mereka yang tidak mengalami Yo-yo," ujarnya.
Baca juga: Cerita Diet Hasan, Berhasil Turun Berat Badan 16 Kg dengan Metode Diet SMART
Untuk menghindari sindrom Yo-yo, dr. Mulianah menyarankan agar diet dilakukan dengan cara yang sehat dan berkelanjutan, bukan dengan metode ekstrem yang berisiko bagi kesehatan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang