Penulis
KOMPAS.com - Ada fenomena baru di dunia kerja, yaitu job hugging alias memeluk erat pekerjaan yang ada. Para pekerja ini memilih bertahan pada pekerjaannya meski tidak puas, tak termotivasi, bahkan tidak menyukai pekerjaannya.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di banyak negara. Para ahli mengatakan hal ini merupakan sinyal lain dari melemahnya pasar tenaga kerja serta tantangan keuangan. Kondisi ini juga menandai pergeseran signifikan dari budaya "pindah-pindah pekerjaan" yang sebelumnya marak.
"Beberapa tahun yang lalu, para pekerja cepat-cepat pindah kerja demi kenaikan gaji yang signifikan," ujar Matt Bohn, mitra klien senior di perusahaan konsultan dan manajemen bakat global Korn Ferry, kepada Newsweek.
Baca juga: Fenomena Job Hugging, Saat Karyawan Memilih Bertahan meski Sudah Tak Nyaman
"Sekarang, dengan gaji yang semakin menipis akibat kenaikan biaya, banyak yang tetap berpegang teguh pada stabilitas meskipun mereka tidak puas. Insting itu masuk akal, tetapi ada konsekuensinya: Dengan semakin sedikit orang yang mengejar peluang baru, pertumbuhan upah melambat, dan inovasi dapat terhambat," katanya.
Sebuah survei yang dilakukan ResumeBuilder.com pada bulan Agustus terhadap lebih dari 2.200 pekerja AS menemukan bahwa 46 persen dari mereka termasuk dalam profil pemeluk pekerjaan (job huggers). Di antara kelompok ini, 95 persen menyebutkan kekhawatiran tentang pasar kerja sebagai alasan utama keengganan mereka untuk pindah.
Menurut "Indeks Retensi Karyawan" terbaru dari Eagle Hill, sebagian besar pekerja Amerika berniat untuk tetap bekerja di pekerjaan mereka saat ini untuk enam bulan ke depan. Konsultan tersebut juga menemukan bahwa optimisme pekerja merosot pada kuartal kedua tahun 2025, hingga mencapai level terendah sejak pelacakan dimulai pada tahun 2023.
Baca juga: Jangan Anggap Remeh Rasa Tidak Dihargai di Tempat Kerja
IlustrasiKorn Ferry menafsirkan hal ini sebagai tanda bahwa para pekerja "bertahan hidup," dan menganggap pasar kerja saat ini "berbahaya."
Beberapa survei menunjukkan bahwa para pekerja merasa tidak terlibat dan "meninggalkan pekerjaan" saat bekerja.
Kedua tren ini; antusiasme yang rendah dan pesimisme yang melonjak tentang peluang lain, telah berpadu menjadi fenomena job hugging.
Baca juga: Tokyo Jadi Kota Terbaik untuk Seimbangkan Kerja dan Liburan
Selain mencerminkan kecemasan tentang prospek pekerjaan, kembalinya kebiasaan job hugging dapat membentuk perilaku pekerja itu sendiri dan semakin melemahkan peluang mereka di pasar tenaga kerja yang semakin keras.
Para ahli menilai, memeluk erat pekerjaan dengan perasaan cemas pada akhirnya akan membawa pekerja menuju kinerja yang buruk, merasa tidak terlibat, dan potensi kehilangan promosi atau peluang eksternal.
"Bagi karyawan, konsekuensinya adalah stagnasi jangka panjang," kata Kevin Fitzgerald, direktur pelaksana di platform SDM dan keterlibatan karyawan Employment Hero.
"Jika Anda tidak mempelajari keterampilan baru atau mendapatkan pengalaman yang berbeda, Anda membatasi prospek karier. Hal ini khususnya merugikan bagi pekerja muda, yang membutuhkan variasi dan tantangan untuk membangun ketahanan."
Baca juga: Simak, 5 Red Flag Perusahaan yang Bisa Terlihat dari Proses Wawancara Kerja
Ia menambahkan, menginginkan stabilitas dalam peran yang baik adalah hal yang sehat, sebaliknya memeluk pekerjaan itu berbeda karena didorong oleh rasa takut dan kekurangan.
"Alih-alih pilihan proaktif, hal itu justru menjadi respons cemas terhadap risiko yang dirasakan, yang dapat membuat orang terkurung dalam lingkungan yang tidak memuaskan atau bahkan tidak sehat, " ujar psikolog klinis Dr. Chloe Carmichael, yang banyak menangani kasus kecemasan.