Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Go Tik Swan, Menyatukan Indonesia Lewat Batik

SOLO, KOMPAS.com - Semua orang Indonesia pasti mengenal batik. Namun, hanya segelintir orang yang mengenal siapa itu Go Tik Swan.

Nama Go Tik Swan tak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan batik di Indonesia.

Ia adalah orang yang menyatukan Indonesia dengan batik karyanya. Go Tik Swan bukanlah lelaki asli Jawa. Ia lahir dari dari keluarga keturunan Tionghoa yang tinggal di Solo.

Kecintaannya pada budaya Jawa tak hanya disalurkan lewat dedikasinya pada eksistensi batik di Indonesia. Ia juga mendalami sastra dan tarian Jawa.

"Go Tik Swan itu pernah disekolahkan orangtuanya di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Tapi, tiga bulan sekolah ia malah keluar dan pindah ke Sastra Jawa," ucap Hardjosuwarno yang merupakan anak angkat Go Tik Swan.

Perkenalan dengan Bung Karno

Semasa kuliah, Go Tik Swan menekuni tarian Jawa yang berhasil membawanya berkenalan dengan Soekarno, Presiden Pertama Indonesia.

Pada waktu Dies Natalis Universitas Indonesia, ia mengadakan misi kesenian di Istana Negara dengan membawakan tarian Jawa di hadapan Bung Karno.

Soewarno, panggilan akrab Harjosuwarno bercerita, tarian yang dibawakan oleh Go Tik Swan saat itu adalah tarian Gambir Anom, yag merupakan tarian klasik Jawa bergaya Solo.

Tarian yang dibawakan oleh pria yang juga memiliki nama Jawa KRT Hardjonagoro ini membuat Bung Karno kagum.

Bung Karno langsung memanggilnya, mengajaknya bersalaman, serta mengundangnya untuk datang ke Istana Negara.

Inilah yang awal perkenalannya dengan Bung Karno yang kemudian menjadikannya sebagai staf ahli kebudayaan.

Misi menyatukan Indonesia

Suatu hari, Bung Karno mendengar kabar jika Go Tik Swan berasal dari keluarga pembatik.

Presiden pertama Republik Indonesia ini pun memintanya membuat batik yang bisa diberi nama batik Indonesia yang bisa menyatukan seluruh rakyat.

"Saat makam malam, Bung Karno minta untuk dibuatkan batik yang bisa diberi nama batik Indonesia. Jadi, bukan batik Solo, Batik Yogya atau atau batik pesisiran," tambah pria berusia 68 tahun ini.

Profesi orangtua Go Tik Swan saat itu memang seorang pengusaha batik di Solo yang memiliki ribuan pekerja. Keluarganya tak hanya dihormati oleh pekerja, tapi juga masyarakat sekitar.

Tak ingin mengecewakan presiden, pria kelahiran 11 Mei 1931 ini pun langsung menyanggupinya.

Setelah lama mencari inspirasi, akhirnya Go Tik Swan menggabungkan berbagai karkater dari batik Solo, Jogja dan Pesisiran menjadi satu hingga terciptalah batik Indonesia.

"Jadi, kalau batik pesisiran itu ciri khasnya kan warnanya cerah-cerah. Kalau batik keraton, seperti keraton Solo dan Jogja itu warnanya cenderung gelap. Semua itu digabungkan hingga menjadi batik Indonesia," ucapnya.

Kedekatan dengan kelaurga Keraton

Go Tik Swan sangat dengan dengan KGPH Hadiwijaya yang merupakan salah satu putra dari Pakubowono X, yang juga seorang pegiat seni dan tari Jawa.

Hubungan dekat tersebut, akhirnya membuahkan kepercayaan Go Tik Swan untuk membangun Art Gallery Keraton yang kini dikenal dengan Museum Keraton Surakarta.

Setelah 10 tahun peresmian Museum, ia diangkat menjadi Bupati Anom dengan Gelar Raden Tumenggung oleh Pakubuwono XII.

Seiring berjalannya waktu, gelar yang didapatkannya semakin meningkat hingga ia mendapatkan gelar Panembahan, yang merupakan gelar tertinggi dalam sejarah Jawa.

"Belum pernah ada orang di luar tembok keraton yang mendapat gelar Panembahan," ucap Soewarno.

Selain itu, dari Presiden Soekarno Go Tik Swan juga mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan.

Soewarno juga mengatakan belum ada pembatik yang mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan, penghargaan yang setara dengan Satya Lencana Kemerdekaan dan Satya Lencana Pembangunan.

"Go Tik Swan memang dari kelaurga China. Tapi, dia ahli sastra jawa dan ahli budaya Jawa. Ia lebih Jawa dari orang Jawa sendiri. Ini bisa dilihat dari tutur kata dan kesehariannya" tambahnya.

Tantangan

Walau kenal dengan Presiden Soekarno, usaha Go Tik Swan mendalami kebudayaan Jawa mendapatkan bukannya mulus, melainkan mendapat banyak tantangan.

Bahkan, pihak keluarganya pun pernah menentang langkahnya untuk melestarikan budaya Jawa.

"Orangtuanya dulu juga menentang. Tapi, mereka akhirnya sadar jika anak mereka inilah yang bisa 'mikul dhuwur mendhem jero' alias menjunjung tinggi kebaikan dan mengubur dalam-dalam keburukan," ucap Suwarno.

Sebagai orang yang dipercaya merawat dan melestarikan peninggalan Go Tik Swan, ia berharap anak cucunya kelak juga bersedia menggantikannya.

"Yang paling membuat sedih itu generasi sekarang'kan nggak ada yang mau jadi pembatik. Mereka lebih memilih kerja kantoran, di pabrik atau bahkan jadi TKI," ucapnya.

Di sisi lain, Soewarno mengaku bahagia jika ada orang yang kagum dan tertarik melihat eksistensi batik.

"Rasanya itu bangga dan bahagia jika ada yang datang ke sini tertarik dan mau belajar. Pernah ada orang Jepang yang datang kesini belajar membatik sampai jadi satu kain," ucapnya.

Karya Go Tik Swan ini juga menjadi buruan para penggila batik. Harga batik reproduksi Go Tik Swan bisa berkisar Rp 700.000 hingga di atas Rp 8 juta. Selain itu, mereka yang ingin mendapatkannya harus menunggu sekitar enam bulan, tergantung kerumitan motif yang dipesannya.

"Kalau koleksi asli Go Tik Swan bisa sampai Rp 50 juta. Tapi, jangan dilihat harganya. Itu 'kan karya seni," Ucap Suwarno.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/02/081750820/go-tik-swan-menyatukan-indonesia-lewat-batik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke