Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengubah Nasib Para Pemulung Sampah di India, Lewat Produk Kecantikan

BENGALURU, KOMPAS.com - Di tengah tumpukan sampah-sampah plastik nan berdebu, berdiri Dolly (20). Sari warna hijaunya tampak mencolok di bawah terik matahari dan cuaca panas yang mencapai 34-35 derajat Celcius siang itu.

Di gendongannya, seorang bayi perempuan mungil berbalut pakaian berwarna biru-merah muda melihat dengan tatapan nyaman meski kami, orang-orang asing, mengerumuninya.

Bersama Dolly, ada kakaknya Sonya (22).

Meski masih belia, keduanya kini harus membagi waktu antara mengumpulkan sampah dan mengurus anak-anak mereka yang masih kecil.

Tak jauh dari Dolly dan Sonya, ada beberapa orang wanita paruh baya, memilah-milah sampah plastik dengan terampil. Sampah-sampah plastik tersebut dikumpulkan dari perumahan dan apartemen di sekitar van unit.

Ya, di van unit ini lah Dolly, Sonya dan beberapa anggota keluarganya tinggal sambil menjalankan tempat pemilahan sampah. Van unit ini dikelola oleh Shaktiman, ayah Dolly dan Sonya.

Total ada 16 pria dan 9 wanita yang bekerja di sana.

Karena van unit berdiri di atas lahan pribadi, Shaktiman harus rela angkat kaki dan mencari tempat baru jika yang empunya mau menggunakan lahannya untuk keperluan lain.

"Tantangan terbesarnya adalah bagaimana ini bisa terus berjalan. Jika pemilik lahan setuju memperpanjang (biasanya sewa dalam durasi dua tahun), maka akan diperpanjang, jika tidak maka harus menemukan tempat lain," katanya.

Sampah-sampah bercampur dengan sejumlah sampah basah sehingga baunya cukup menyengat. Ditambah lagi terik matahari yang membuat suasana semakin tak nyaman.

Para pekerja yang memilah sampah tak semuanya dilengkapi perlengkapan higienis, seperti sarung tangan atau masker. Mereka memilah-milah sampah di antara lalat yang berterbangan di sekitar. Terkadang santap siang pun harus dilakukan di tengah kondisi tersebut.

Jika Shaktiman dan keluarganya mengumpulkan sampah dari perumahan dan apartemen sekitar, para pemulung sampah dari Dry Waste Collection Center (DWCC) yang dioperatori oleh Krishna ini mengumpulkan sampah rumah tangga kelas menengah dan sesekali apartemen.

Itulah mengapa kebanyakan tidak melakukan pemisahan sampah secara mandiri.

Hasiru Dala sendiri merupakan organisasi non-profit yang mengelola para pemulung serta pekerja informal lainnya terkait pengelolaan sampah.

Inda menjelaskan, ada sekitar 10 orang yang bekerja bersama Khrisna, termasuk pengendara truk sampah dan pekerja yang memilah sampah.

Setiap harinya, upah yang mereka terima berkisar 300-400 rupee (Rp 61.000-82.000). Upah yang sebetulnya terlalu minim untuk pekerjaan mereka yang berat.

"Bahkan meskipun dibayar 1.000 rupee, itu tetap sangat rendah bagi mereka dengan kondisi kerja seperti ini," kata Inda.

Apalagi, kebanyakan pekerja sudah berumur dan wanita. Menurut Inda, sulit untuk menemukan anak-anak muda yang mau bekerja di sektor pemilahan sampah.

Padahal, pekerjaan ini membutuhkan kerja fisik yang berat dan skill memilah sampah, namun uang yang didapat memang sedikit.

Di sisi lain, pekerjaan ini tampak dipandang sebelah mata.

"Mereka harus mengumpulkan sampah kering setiap hari tapi kekuatan dan infrastrukturnya sebetulnya tidak cukup banyak. Sebab, bayangkan setiap hari ada berapa banyak sampah."

"Jadi, penting untuk mengakui pekerjaan mereka yang bekerja di industri ini," tuturnya.

Ada banyak pemulung sampah di sana yang nasibnya tak sebaik Shaktiman atau Krishna. Menurut Inda, ada beberapa fasilitas sejenis DWCC di Bengaluru, hasil Memorandum of Understanding (MoU) pemerintah dengan pihak pengelola sampah.

Di seluruh India, jumlahnya lebih banyak lagi. Tapi, potret yang sama bahkan mungkin bisa kita temukan di banyak tempat di dunia.

Padahal, sampah plastik menjadi permasalahan yang semakin kompleks. Lebih dari 8 juta ton plastik berakhir di laut setiap tahunnya dan lebih dari 90 persen sampah plastik di dunia tidak pernah didaur ulang.

Jika terus dibiarkan, jumlah sampah plastik akan lebih banyak dari jumlah ikan di laut pada 2050.

Di Bengaluru sendiri, para pemulung sampah mengumpulkan 1.050 ton sampah plastik daur ulang setiap harinya.

Tetapi yang menjadi ironi, pengelolaan sampah plastik di banyak negara masih sangat memprihatinkan.

Pengelolaan sampah pada akhirnya menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar. Padahal, dengan manajemen sampah yang tepat, sampah-sampah plastik sebetulnya dapat diproses hingga menjadi material yang bernilai ekonomi.

Ada satu peran yang mungkin banyak kita lupakan, yaitu peran pemulung sampah. Banyak dari kita yang belum menyadari bahwa pekerjaan yang kerap dipandang kotor ini memegang fungsi yang sangat penting terhadap sistem pengelolaan sampah pada suatu negara.

Kita, Indonesia, bisa belajar dari India yang kini mulai menata sistem pengelolaan sampahnya menjadi lebih baik.

Nah, bagaimana dengan kamu, apa pendapatmu soal para pemulung sampah di sekitarmu?

Menghadirkan keadilan bagi pemulung sampah

Bekerjasama dengan Plastic For Change bersama Hasiru Dala dan Hasiru Dala Innovation, mereka memanfaatkan sampah plastik untuk didaur ulang menjadi kemasan baru produk The Body Shop. Produk pertama yang akan menggunakan plastik daur ulang adalah Ginger Shampoo.

Potret kondisi para pekerja di sektor pengelolaan sampah yang masih memprihatinkan menggugah The Body Shop untuk ikut mengubahnya menjadi lebih baik.

"Apa yang kami harap untuk jangka panjang dari program ini adalah menyediakan pendapatan yang konsisten bagi mereka, tidak hanya peningkatan tapi juga membawa perubahan pada kualitas hidup para pekerja," kata Global Community Trade Manager The Body Shop, Lee Mann.

Kenapa India? Sebab, 90 persen pelaku sektor pengelolaan sampah di India adalah pekerja informal. Mereka membutuhkan kondisi pasar yang stabil demi mendapatkan penghasilan yang lebih menjanjikan.

Di India sendiri, ada 1,5 juta pemulung yang kesehariannya menggantungkan hidup dari sampah. Lebih dari 90 persennya merupakan 'dalit' atau kasta terendah pada keyakinan Hindu. Mereka dianggap sebagai kelompok sosial yang tidak bersih dan tak tersentuh (untouchable).

Apa yang dilakukan The Body Shop?

Bersama dengan partnernya, The Body Shop membeli 250 ton plastik yang dikoleksi oleh para pemulung di Bengaluru. Angka ini akan meningkat hingga 500 ton pada 2020 mendatang.

Ini sejalan dengan misi Community Trade yang dibawa oleh pendiri The Body Shop, Anita Roddick sejak 1987 lalu, yaitu membantu kelompok rentan dan termarjinalisasi melalui model bisnis berkelanjutan yang adil.

Jadi, kemasan The Body Shop hasil daur ulang ini berawal dari sampah-sampah botol plastik yang dibuang oleh masyarakat Bengaluru.

Sampah itu kemudian akan dipilah oleh para pemulung dan diserahkan ke pusat pengumpulan sampah untuk diproses menjadi bundel-bundel plastik.

Bundel plastik tersebut akan diterbangkan ke Belanda untuk diproses lebih lanjut dan kemudian didaur ulang menjadi kemasan baru The Body Shop.

Dalam tiga tahun, program ini diharapkan mampu membantu tak kurang dari 2.500 pemulung yang terlibat sehingga mereka mendapatkan akses keadilan, harga jual sampah yang stabil, perbaikan kondisi tempat kerja, hingga lebih dihormati dalam menjalankan profesi. 

"Program community trade kami selalu membawa solusi. Dalam hal ini, artinya kita harus bertanggungjawab atas konsumsi plastik kita," kata Lee Mann.

Bagaimana kehidupan para pemulung sampah dapat terbantu

Plastic For Change adalah organisasi yang bersama The Body Shop (sebagai mitra) berupaya menstabilkan harga, menghubungkan para pemulung pada pasar sekaligus mengurangi polusi plastik.

Peran Plastic For Change sangatlah besar. Perusahaan yang didirikan oleh Andrew Almack ini menggunakan teknologi inovatif untuk mendukung proses daur ulang sampah plastik.

Mereka membuat sebuah aplikasi yang bisa diakses lewat ponsel pintar untuk membantu para pemulung sampah mendapatkan harga jual yang adil dan stabil.

Aplikasi ini juga dapat menghubungkan mereka dengan pihak-pihak yang akan membeli plastik dengan harga yang layak.

Harga stabil itulah yang diinginkan para pemulung sampah.

"Para pemulung sampah mengakses lewat ponsel, lalu mereka bisa menyetujui transaksi dan mendapatkan harga yang konsisten ketika menjual plastik mereka kepada partner franchise dan ini bisa mereka lacak," jelas Andrew.

Plastic For Change juga melatih para pemulung sampah untuk bisa secara baik dan benar memisahkan sampah, agar sampah yang dihasilkan memenuhi standar kualitas tertentu. Misalnya, untuk dipasok menjadi bahan baku kemasan The Body Shop.

Sampah dicacah, dicuci, hingga pada akhirnya bisa menjadi kemasan The Body Shop dan bisa memengaruhi sirkulasi ekonomi mereka.

"Kami ingin mereplika model ini, memperkenalkan sistem daur ulang bertanggungjawab pada komunitas-komunitas serupa ke negara-negara lain," katanya.

Sementara Hasiru Dala, mereka menyediakan kartu identitas pekerjaan (occupational ID cards) khusus yang membuat para pemulung sampah mendapatkan akses sosial, seperti akaes kesehatan, pendidikan, bahkan bisa membuka rekening bank.

Selain perlindungan sosial bagi para pemulung sampah dan keluarganya, mereka juga membantu para pemulung sampah membangun skill yang akhirnya juga memberikan mereka kebanggaan lebih atas pekerjaannya.

"Mereka tidak tahu apa kontribusi yang telah mereka beri. Mereka tidak tahu bahwa sekian ton sampah yang mereka kumpulkan sudah didaur ulang dan mereka sudah menghemat uang kota ini."

"Jadi, ketika kami bicara kepada mereka tentang apa yang sudah mereka lakukan, mereka sangat percaya diri bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal baik," kata Co-Founder Hasiru Dala, Nalini Shekar.

Sementara Hasiru Dala Innovation adalah perusahan sosial (social enterprise) yang membantu meningkatkan kualitas hidup dan kewirausahaan di antara para pemulung sampah serta melakukan manajemen sampah secara keseluruhan.

Orang-orang seperti Krishna dan beberapa lainnya pada awalnya adalah seorang pemulung sampah. Krishna memulainya sejak usia 12 tahun dari memulung sampah-sampah dari toko kecil.

Pada 2013 Krishna mulai mengelola DWCC sendiri.

Secara umum, Hasiru Dala membantu para pemulung sampah menjadi enterpreneur. Sehingga mereka bisa nempekerjakan orang lain di sektor pengelolaan sampah dengan standar kerja dan prosedur yang baik.

Kini, sekitar 72.000 pemulung sampah sudah memiliki kartu identitas pekerjaan. Nalini berharap, di 20 tahun mendatang semua pemulung sampah sudah mendapatkan kesejahteraan dan sistem pengelolaan sampah sudah terbangun dengan baik.

Terutama, jangan ada lagi anak-anak yang memulung sampah.

"Kalau pun ada, mereka harus berada di level yang lebih tinggi seperti manajer, pemilik bisnis, mendaur ulang sampah sendiri, dan lainnya. Semua pemulung sampah harus bisa menikmati hak dari pekerjaan mereka," tuturnya.

Dari pemulung menjadi enterpreneur

Sudah memulung sampah sejak usia 10 tahun, Annama merasakan perbedaan yang besar dengan kondisinya saat ini, ketika dirinya sudah memiliki kartu identitas pekerjaan.

Selain beragam fasilitas warga negara yang sudah bisa dinikmati, perlakuan masyarakat juga menjadi lebih baik.

“Dulu kami tak mendapatkan hormat dari masyarakat. Pemulung sampah dianggap hanya sebagai pemungut sampah saja, padahal kami semua kan bekerja demi kebaikan bersama,” ungkap Annamma.

Setelah kartu identitas pekerjaan tersebut dimilikinya, masyarakat bahkan memperlakukannya seperti tamu ketika ia datang untuk mengumpulkan sampah.

Tak jarang pemilik rumah justru menyuguhinya makanan dan minuman lalu berbincang dengannya terlebih dahulu sebelum ia mengambil sampah.

Hal yang berhasil ditorehkan oleh Annama juga membuatnya diliput beragam media dan dikenal luas. Anak-anaknya pun bangga dengan pekerjaan Annama saat ini.

"Aku masuk koran dan ada dimana-mana, anak-anak bangga dan mengatakan, 'ini ibuku'," katanya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/05/20/121327020/mengubah-nasib-para-pemulung-sampah-di-india-lewat-produk-kecantikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke