Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Usulan Bayar Iuran Sesuai Jumlah Sampah yang Dibuang, Setuju?

Untuk di Jakarta saja, angka sampah per hari sudah mencapai 7.000-7.500 ton atau dalam dua hari tumpukannya setara dengan Candi Borobudur.

Berbagai upaya pengendalian dan pengelolaan sampah disampaikan banyak pihak. Yang terbaru adalah usulan memperbesar iuran sampah.

Iuran sampah yang terlalu kecil membuat petugas tidak bisa mengelola sampah dengan maksimal. Tak jarang sampah di buang ke sungai sebab membawanya ke lokasi penampungan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Founder Waste4Change, M. Bijaksana Junerosano menuturkan, saat ini iuran sampah masih berlaku rata pada setiap warga dalam area tertentu. Padahal, jumlah sampah yang dibuang berbeda-beda.

Ia menyebut beberapa negara yang sudah menerapkan sistem retribusi adil, misalnya Korea dan Taiwan. Retribusi yang adil diharapkan bisa mengubah perilaku masyarakat dalam membuang sampah.

"Retribusi terlalu murah dan tidak adil. Jadi harus dibuat lebih adil. Siapa menghasilkan sampah banyak bayar banyak, yang menghasilkan sampah sedikit bayar sedikit," kata Sano ketika ditemui di kawasan Blok M beberapa waktu lalu.

Riset internal Waste4Change menaksir iuran sampah rumah tangga jika disamaratakan idealnya berkisar Rp 110 ribu untuk setiap rumah. Namun, ia menilai perlu ada mekanisme keadilan.

"Bayangkan kalau kita bilang Rp 110 ribu ke ibu-ibu rumah tangga responsnya pasti menilai mahal. Tapi kalau bilang: misalnya, setiap satu ember Rp 5.000, kalau nyampah banyak Rp 50.000 dan seterusnya, pasti secara tidak langsung mengurangi buang sampahnya," kata dia.

Aturan mengenai retribusi atau standar biaya pengelolaan sampah sedang dibahas oleh pemerintah.

Sano memahami jika aturan tidak bisa dikeluarkan dalam waktu dekat sebab ada banyak hal yang harus dikaji. Namun, ada beberapa tantangan teknis yang mungkin dihadapi terkait aturan ini.

Pertama, masyarakat sudah terbiasa dengan retribusi sampah yang terlalu murah. Kedua, paradigma berpikir, dan ketiga, sistem pengumpulan retribusi di Indonesia masih konvensional dan berbasis tunai.

"Di negara kita kalau ada transaksi berbasis tunai berpotensi ada celah-celah yang tidak bertanggungjawab bisa mengambil dana tersebut," tuturnya.

Jika tantangan itu bisa diatasi, kota-kota akan memiliki dana untuk mengelola sampah.

"Sekarang kota-kota belum berhasil mengumpulkan 100 persen dana retribusi persampahan," ucap Sano.

Pembahasan

Besaran retribusi sampah dan sistem pembayaran sudah dibahas oleh pemerintah.

Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Novrizal Tahar menyebutkan, pembahasan yang dikoordinir oleh Kementerian Koordinator Perekonomian itu masih melakukan perumusan struktural.

Novrizal menyebutkan, dari sekitar 359 landfill system yang dibangun dengan desain sanitary landfill, yang beroperasi baru sekitar 30 hingga 50 unit. Salah satu masalahnya adalah biaya operasional.

Adapun sanitary landfill sendiri menurut situs www.pu.go.id adalah metode pengelolaan dengan mengolah air limbah sampah (leachate) terlebih dahulu agar tidak berbahaya.

Sistem ini dinilai cocok untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia di mana sebagian besar sampahnya merupakan sampah organik.

Sistem pembayaran juga tengah dibahas. Misalnya, dengan menggunakan pembayaran langsung seperti dengan menggunakan e-money. Sementara angka retribusi masih belum ditentukan dan masih akan dibahas.

"Teman-teman PU (Pekerjaan Umum) juga sedang menyiapkan satuan biaya yang setiap daerah mungkin berbeda sehingga ada acuan standar," kata Novrizal.

Nah, bagaiman denganmu. Setuju jika iuran sampah nantinya sesuai dengan jumlah sampah yang dibuang?

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/08/19/160000120/usulan-bayar-iuran-sesuai-jumlah-sampah-yang-dibuang-setuju-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke