Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Sugiarto, si Tukang Berantem yang Sukses Jual Sepatu ke AS

Sugiarto lahir di Palembang, 19 Mei 1982. Ayahnya adalah anggota TNI berpangkat tidak tinggi, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga.

Sebagai anak tentara, Sugiarto, ibu, dan ketiga saudaranya hidup berpindah-pindah, tergantung lokasi tugas penempatan tugas sang ayah.

Mereka hidup sederhana dan mementingkan pendidikan. Karena itulah, Sugiarto maupun saudaranya wajib masuk sekolah dan perguruan tinggi negeri agar bisa mengurangi beban orangtuanya.

“Kalau dulu, (kuliah) negeri itu murah. Kalau sekarang, negeri malah lebih mahal,” ujar Sugiarto kepada Kompas.com di Bandung, belum lama ini.

Tukang berantem

“Saya tukang berantem. Ini bekasnya,” ujar Sugiarto memperlihatkan lukanya.

Tak terhitung berapa kali ia berkelahi di masa kecil dan remajanya. Salah satu yang dia ingat, adalah ketika sang ibu sering kerepotan dengan ulahnya.

Sebab, korban yang menjadi lawan Sugiarto, pasti datang ke rumahnya, meminta diobati.

Kebiasaan berkelahinya terus berlangsung hingga kuliah. Ia bahkan sempat dipenjara karena berkelahi.

Menjelang lulus perguruan tinggi, ia bertekad untuk berubah. Ia tak ingin lagi berkelahi dan merepotkan orangtua.

Konsultan

Menjelang tahun 2010, ia mulai galau karena ingin masuk kelompok pecinta alam, Wanadri, di Bandung.

“Saya suka naik gunung, saya suka alam. Makanya tahun 2010 memutuskan untuk pindah ke Bandung ikut (daftar) Wanadri,” imbuh dia.

Selama di Bandung, Sugiarto masih mengerjakan beberapa proyek konsultan hingga akhirnya ia dan seorang temannya memutuskan bisnis sepatu kelas premium.

Ia menilai, sepatu merupakan bisnis fashion yang paling unik. Karena meski dipakai di kaki, harganya bisa sangat tinggi bahkan tidak masuk akal.

Namun dalam sekejap bisninya merugi hingga Rp 300 juta dari modal Rp 400 juta yang dikeluarkan.

Kerugian terjadi karena sebagai pemain baru ia sulit bersaing memasarkan produknya. Sedangkan, sepatu yang ia produksi sudah telanjur banyak.

Saat ia bangkrut, beberapa teman memandangkan sebelah mata. Ada pula yang menjauh. Namun ia tidak peduli. Ia memilih bangkit dari keterpurukan.

“Saat itu saya bersikukuh untuk kembali bisnis. Karena kalau kembali ke dunia kerja, usia saya harusnya (melamar) ke posisi lumayan tinggi,” tutur dia.

Mengandalkan beberapa proyek untuk bertahan hidup, Sugiarto memutar otak untuk kembali ke bisnis sepatu. Dimulai dengan desain sepatu dan pasar yang akan dituju.

Ia kemudian pergi ke Singapura dan Jepang untuk melakukan riset. Beberapa sepatu pun ia bedah untuk menemukan passion-nya.

Hingga awal 2019, ia mendirikan Inskres dengan modal Rp 100 juta.

Dalam hitungan bulan, 150 pasang sepatu terjual di Indonesia, Taiwan, Inggris, Afrika Selatan, hingga Amerika Serikat.

“Harga sepatu Inskres Rp 600.000-Rp 1,9 juta. Dalam sebulan kami bisa produksi 150 pasang."

"Sebenarnya permintaannya banyak, tapi kapasitas produksi kami baru segitu,” ucap dia.

Saat ini, ia memiliki tujuh perajin, dan dua pegawai untuk admin dan promosi. Ke depan ia akan terus mengembangkan bisnisnya.

Namun, dia tidak ingin memiliki bengkel sendiri. Alasannya, Sugiarto ingin berbagi rezeki sebanyak mungkin dengan melibatkan banyak pekerja.

Inskres baru memiliki dua artikel yang dinamakan Gama dan Naya. Kedua nama tersebut diambil dari nama gunung di Indonesia.

Gama menunjuk pada Gunung Gamalama. Sedangkan Naya diambil dari Gunung Binaiya. Keduanya merupakan gunung di Indonesia yang pernah didaki Sugiarto.

Kedua desain ini menyasar pembeli dari usia 25 tahun ke atas. Sepatu ini cocok digunakan untuk jalan-jalan, main, hingga acara semi formal.

Dari segi desain, sneaker bot tidak lumrah di Indonesia. Namun karena ketidaklumrahan inilah yang membuat konsumen penasaran.

“Saya memang ingin menciptakan pasar sendiri,” imbuh dia.

“Dalam waktu dekat, saya akan luncurkan produk baru, namanya Rinci diambil dari kata Kerinci,” cetus dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/11/18/091738720/kisah-sugiarto-si-tukang-berantem-yang-sukses-jual-sepatu-ke-as

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke