Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tentang Kehilangan...

“AKU RINDU hari-hari tanpa kabar duka...,” kata Ernest Prakasa di salah satu postingan instagramnya, baru-baru ini.

Ucapan yang rasanya mewakili perasaan banyak orang, belakangan ini.

Betapa seringnya kita melihat kabar duka cita berseliweran di berbagai media sosial, begitu banyak kehilangan terjadi, yang itu sebagian besar karena wabah virus yang menghantui kita nyaris dua tahun ini.

Kehilangan, atau berduka, adalah perasaan yang sering kali tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sebab, rasanya campur baur tak keruan, segala bentuk emosi timbul dan tenggelam karenanya.

Sayangnya, kita yang kini sudah dewasa kerap mengartikan kehilangan sebagai emosi negatif yang harus segera disingkirkan.

Bias dari kebiasaan sejak kecil, ketika air mata mengalir maka orang dewasa akan segera mengambil alih dengan mengatakan, “Cup..cup sudah, jangan nangis. Nanti beli yang baru…” atau “Sudah berhenti nangis, masa gitu aja nangis....”

Terlebih lagi anak laki-laki. Pamali sekali sepertinya menangis.

Padahal, kita manusia. Artinya, kita berhak merasakan apa pun emosi yang terjadi.

Apa salahnya menangis? Apa salahnya berduka?

Ini sama dengan bahagia, cemburu, marah, kecewa, bangga, dan sejuta perasaan lain yang bisa dinamakan dan diterima ketika hadir menghiasi hari-hari kita.

Menyetop emosi dan menahannya hingga tak tampak dari luar tidak akan membuat emosi itu pergi begitu saja. Sebab, begitulah alaminya manusia.

Kita akan berada di moda bertahan ketika terus menerus menahan emosi. Perasaan itu hanya akan ditumpuk di bagian otak, dan siap-siap suatu saat nanti meledak tak keruan.

“Buka kerannya pelan-pelan!” adalah hal yang lebih baik dilakukan Ketika mengalami perasaan apa pun.

Uji coba dulu dengan diri sendiri. Ketika mengalami kesedihan atau kekecewaan, coba rasakan dan terima.

Katakan, “Aku sedang sedih saat ini, dan itu tidak apa-apa.” Lalu bersedihlah. Menangis, jika terasa ingin menangis.

Cari teman bercerita, jika ingin bercerita. Terlihat rentan bukan sinyal dari lemah. Tidak.

Mengakui yang sedang dirasakan, menerimanya, dan membiarkan perasaan itu menghabiskan banyak energi seketika, adalah hadiah terbaik yang bisa kita berikan bagi diri sendiri.

Karena, ketika kita membuka kerannya perlahan dan membiarkan rasa itu mengalir, sumbatan tidak akan terjadi. Seluruh tubuh kita akan menerima rasa itu, seluruh tubuh kita akan bekerja sama untuk moda sedih dan berduka.

Menerima akan membuat kita jadi jauh lebih mudah untuk berpikir tenang dan logis. Membuat kita bisa menganalisis kejadian dari berbagai sudut pandang dan pada akhirnya akan lebih mudah untuk mengikhlaskan.

Kehilangan dan anak

Jika kita saja kesulitan menghadapi rasa kehilangan, bayangkan bagaimana pada anak-anak yang pengalaman hidupnya masih amat sedikit.

Bayangkan apa yang mereka rasakan, jika kita memaksa mereka untuk dengan cepat memproses kejadian demi kejadian yang tidak mereka mengerti.

Jadi harus bagaimana?

Pertama, ada. Iya, ada untuk mereka. Tidak usah banyak bicara, apalagi ceramah.

Bayangkan kita kehilangan anggota keluarga, lalu kerabat datang dan menceramahi. Menyuruh kita untuk sabar, meminta kita untuk tabah dan segera melupakan kejadian tersebut.

Apakah terasa nyaman?

Bandingkan dengan sikap penuh empati, dengan duduk di samping, tanpa suara. Merangkul atau memeluk dalam diam, membiarkan kita menangis, berteriak, dan menumpahkan segala rasa yang sedang berusaha kita cerna.

Iya, sesederhana itu; ada.

Lalu, namai perasaannya. “Adek sedih sekali, sampai menangis keras, karena rasanya enggak enak sekali…” bisa dikatakan dengan intonasi lembut dan penuh sayang.

Iya, namai saja perasaannya. Sedih. Kecewa. Marah. Gusar. Cemburu.

Karena menamai perasaan akan membantunya untuk mengenal dirinya sendiri dan menerima dirinya apa adanya.

Tidak perlu menjelaskan panjang lebar soal kematian, karena pembicaraan itu akan dia mulai duluan nanti, ketika rasa sedihnya mulai mereda.

Jadilah sosok yang bisa dipercaya, karena ingat lagi, ia baru sebentar ada di dunia ini. Masih ada begitu banyak hal yang ia tak bisa pahami, karena belum berpengalaman.

Sosok yang bisa dipercaya tidak hadir dengan wejangan.

Ia adalah sosok yang hadir dengan penuh rasa cinta, pelukan paling hangat di dunia, dan membantu diri mengenal rasa.

Yang kemudian menutupnya dengan, “Adek sedih, ibu tahu. Ibu juga sedih, ibu peluk adek ya, supaya adek nyaman. Memang kehilangan itu rasanya enggak enak sekali, tapi ibu ada di sini kok sama adek. Ibu temani adek, adek temani ibu, kita bareng-bareng ya....”

Mungkin air mata akan semakin deras keluar, mungkin tubuh bisa sampai bergetar.

Namun, percayalah, sejak hari itu, ia percaya bahwa dunia ini tidak kejam karena ada ibu. Karena ada sosok yang akan selalu menemani apa pun yang ia alami dan sosok itu bisa selalu dipercaya untuk melindunginya.

Bukankah itu hakikat menjadi orangtua? Menjadi sosok yang bisa memberikan kenyamanan dan kehangatan? Sosok tak tergantikan?

Semoga pandemi segera berlalu, semoga kehilangan bukan lagi berita utama yang berseliweran di linimasa kita setiap hari.

Semoga Tuhan melindungi kita semua dan jiwa-jiwa yang harus kembali lebih dulu itu. Aamiin....

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/07/18/091453920/tentang-kehilangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke