Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membangun Religiositas Kaum Remaja di Era Pandemi

Oleh: Dr Raja Oloan Tumanggor, SAg

SEJAK merebak pandemi Covid-19 setahun yang lalu, telah terjadi banyak perubahan dalam masyarakat khususnya kaum remaja. Kaum remaja mengalami keterbatasan dalam berkontak dengan rekan-rekannya, sehingga mereka mengalami kesepian.

Mereka belajar lewat Zoom Meeting, sehingga penjelasan guru tidak utuh dan membuat proses belajar menjadi lebih sulit dibandingkan dengan bertemu langsung.

Karena merasa kesepian kadang kaum remaja mencari hiburan lewat media sosial, game, Youtube, dll.

Ternyata tidak semua remaja bisa mengatasi persoalan itu dengan baik dan bijak. Tidak jarang kaum remaja mencari hiburan yang tidak mendidik dan bisa membahayakan dirinya sendiri.

Bagaimana seharusnya hal itu bisa diatasi?

Untuk mengatasi persoalan yang dihadapi kaum remaja selama masa pandemi ini, telah banyak upaya dilakukan oleh pemerintah, komunitas, dan keluarga.

Misalnya, dari perspektif psikologis, pemerintah berupaya memberi pendampingan psikologis/kejiwaan kepada kaum remaja yang mengalami masalah pribadi seperti rasa cemas, takut, gelisah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemudian, berbagai komunitas agama memberikan pendampingan bagi kaum remaja yang mengalami masalah pada masa pandemi ini (Evandio, 2020).

Namun, satu hal penting yang perlu dibenahi dalam mengatasi persoalan yang dihadapi kaum remaja selama pandemi ini adalah membangun religiositas dalam diri remaja itu sendiri.

Apa yang dimaksud dengan religiositas? Religiositas berasal dari kata religio artinya agama. Maka, religiositas adalah mewujudkan nilai nilai agama dalam diri seseorang berkaitan dengan kepercayaan pada ajaran, baik dalam hati maupun ucapan yang diwujudkan melalui tindakan konkrit sehari-hari.

Religiositas itu maksudnya bagaimana seseorang mengamalkan ajaran agamanya dalam hidup sehari-hari melalui ucapan dan perbuatan nyata sehari-hari (Glock & Stark dalam Holdcroft, 2006).

Dimensi religiositas

Dimensi yang ada dalam religiositas adalah pertama keyakinan: apa yang dipercayai seseorang dari agamanya. Maksudnya, apa isi keyakinannya sebagai Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, atau penganut kepercayaan? Misalnya, apakah ia yakin dan percaya bahwa Tuhan itu Maha Baik dan Pengampun.

Kedua, praktik agama: apa yang dilakukan seseorang dalam agamanya tampak dalam bentuk ritual/upacara keagamaan. Misalnya pergi ke rumah ibadat. Di rumah ibadat orang melakukan praktik agama yang menjadi bentuk penghayatannya.

Ketiga, penghayatan: meliputi sikap dalam hati. Apa yang dipraktikkan dalam agama itu harus sungguh dihanyati.

Keempat, pengetahuan: mencakup pengetahuan tentang agamanya, ritus, acara dan tradisinya.

Kelima, pengalaman dan konsekuensinya: meliputi akibat dari penghayatan, pengetahuan dan ritual dari agamanya. Misalnya sebagai konsekwensi seseorang menghayati imannya misalnya ialah mencintai musuh dan berbuat baik/amal kepada orang yang miskin, cacat atau berkekurangan.

Kelima unsur itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kelima unsur itu saling berhubungan satu sama lain (Holdcroft, 2006; Huber, 2012).

Mengapa perlu religiositas? Religiositas itu perlu untuk menopang kehidupan rohani kaum remaja.

Religiositas mampu menyadarkan mereka akan hal-hal berikut ini.

Orang yang religius akan mencoba selalu patuh terhadap ajaran agamanya, berusaha mempelajari pengetahuan tentang agamanya, menjalankan ritual agamanya, meyakini doktrin-doktrin agamanya dan merasakan pengalaman beragama.

Beberapa ciri-ciri orang yang memiliki religiositas yang baik, antara lain:

  1. Individu dengan religiositas yang kuat secara signifikan dapat mengurangi stres (rasa tertekan) karena situasi pandemi saat ini.
  2. Penghayatan agama yang baik membuat individu lebih menerima semua proses penurunan kondisi fisiknya, bahkan sering diikuti dengan berbagai penyakit yang kronis sebagai hal-hal yang biasa-biasa saja, suatu hal yang memang harus terjadi dan dapat diterima dengan lapang dada. Tidak ada penyesalan, tidak ada kekecewaan atau perasaan tertekan.

Membangun religiositas kaum remaja di era pandemi tentu menuntut perjuangan dan kerja keras. Soalnya, saat ini pertemuan rutin di rumah ibadah dibatasi karena khawatir dengan penularan virus corona yang semakin massif.

Namun, keterbatasan itu seharusnya tidak menyurutkan upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan rohani. Berbagai kegiatan rohani dan kebaktian tetap bisa dilangsungkan, walaupun misalnya hanya melalui Zoom.

Di era pandemi ini berbagai kegiatan membangun religiositas para remaja bisa terlaksana dengan melakukan hal-hal positif seperti menciptakan konten video atau narasi untuk menyemangati dan motivasi sesama melalui komunitas agama masing-masing.

Konten video pendek yang positif ini bisa disebarkan melalui media sosial, sehingga semakin banyak orang bisa tertolong.

Masa pandemi ini mesih belum jelas kapan akan berakhir. Dampaknya bagi kehidupan psikologis kaum remaja sungguh terasa seperti bosan, cemas, kesepian dan kehilangan orientasi, yang bisa mengarahkan mereka melakukan hal negatif.

Namun, hal itu bisa dihindari atau minimal diminimalisasi dengan membangun religiositas mereka.

Religiositas dipandang sebagai salah satu solusi yang bisa diterapkan agar para remaja dapat lepas dari kesulitan hidupnya.

Dr Raja Oloan Tumanggor, SAg
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/08/16/101410320/membangun-religiositas-kaum-remaja-di-era-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke