Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menguak 4 Mitos Terkait Perilaku Kucing

KOMPAS.com - Mungkin, kucing adalah salah satu hewan peliharaan populer di dunia yang kerap disalahpahami.

Tak mengherankan memang. Pasalnya, ada berbagai mitos dan stereotipe tentang kucing yang beredar di masyarakat. Namun, apakah itu benar?

Untuk mengetahuinya, simak fakta dari empat mitos soal kucing berikut ini.

Mitos: Kucing tak bisa dilatih

Salah satu kesalahpahaman umum yang marak terdengar adalah bahwa kucing tidak dapat dilatih, atau melatihnya lebih sulit jika dibandingkan dengan anjing. Padahal, kedua mitos ini salah dan dapat merugikan jika pemilik kucing mempercayainya.

Sebab, ketika pemilik merasa bahwa kucing mereka tidak dapat dilatih, mereka umumnya meyakini bahwa masalah terkait perilaku kucing tidak dapat diselesaikan, dan berujung dengan konsekuensi fatal bagi kucing, termasuk euthanasia dan pelepasan.

Padahal, banyak masalah perilaku kucing dapat diselesaikan. Bahkan, kucing juga bisa dilatih.

Kucing dapat diajari beberapa perilaku dasar seperti menargetkan dan memperhatikan sesuatu dan berperilaku positif. Bahkan, kucing dapat memahami trik dasar seperti berguling dan tos.

Saat melatih kucing, fokuslah pada perilaku positif dan kembangkan perilaku tersebut, bukan memberi tahu kucing hal apa yang tidak boleh dilakukannya.

Metode latihan positif seperti ini akan mempercepat pembelajaran lho, sebab, kucing akan lebih memahami apa yang kita minta. 

Metode seperti ini bukan hanya membuat latihan terasa lebih menyenangkan, tapi juga dapat membuat kucing lebih antusias, mendorong kreativitasnya, serta memperkuat ikatan antara kita dan kucing.

Sebaliknya, melatih kucing menggunakan hal yang tidak disukainya (misalnya menyemprot dengan air, mengagetkan, meneriaki) untuk menghentikan perilakunya itu sangat tidak disarankan. 

Jadi, tidak berkomunikasi secara efektif dengan kucing tentang apa yang kita inginkan dapat meningkatkan ketakutan dan kecemasan.

Bahkan, kucing bisa takut pada kita, sehingga ikatan pun putus. Tak ingin ini terjadi, kan?

Kucing terkadang berguling untuk menunjukkan postur defensif. Jadi, saat kucing merasa tidak bisa melarikan diri, kucing akan berguling agar dapat menggunakan cakar dan giginya dengan lebih baik untuk menghadapi predator.

Perut kucing sendiri merupakan area yang sangat rentan karena menampung banyak organ vital. Jadi, jangan tersinggung jika kucing mencakar atau menggigit saat kita mengelus atau menggosok perutnya.

Kendati demikian, seekor kucing yang berbaring telentang dan memperlihatkan perutnya di tempat yang akrab dengannya (seperti rumah kita), dapat berarti bahwa kucing merasa nyaman dan aman, sampai-sampai berbaring telentang dan mengekspos organ vitalnya tanpa takut.

Selain itu, kucing akan berbaring telentang saat ingin bermain. Nah, inilah saatnya untuk mengeluarkan mainan bulu atau catnip kicker favoritnya.

Namun, hindari menggunakan tangan dan kaki kita sendiri untuk bermain dengan kucing. Sebab, kita perlu mengajari kucing permainan yang “tepat,” dan tangan serta kaki kita bukanlah mainan untuk diserang.

Nah, pendekatan terbaik saat kita melihat kucing menunjukkan perutnya adalah dengan menjaga tangan tetap kosong.

Lalu,hindari mengelus perut dan belailah bahu, kepala, atau dagunya, serta hanya mengelusnya beberapa kali saja.

Jangan lupa untuk memantau bahasa tubuh kucing. Jadi, ketika ada tanda agitasi, berhenti mengelusnya. Biasanya, agitasi ditandai dengan ekor berkedut dan mencambuk, telinga dan kumis ke arah belakang, kulit berkedut, rambut berdiri di tubuh atau ekor, dan pandangan terpaku.

Mitos: Anak kucing tak perlu bersosialisasi

Kontras dengan anggapan yang ada, sebenarnya penting bagi anak kucing untuk bersosialisasi dan dilatih, sama seperti anak anjing.

Kucing memiliki periode sosialisasi selama minggu-minggu pertama kehidupannya, antara usia 2 dan 7 minggu. Nah selama periode ini, kucing perlu belajar apa yang aman dan tidak aman di lingkungannya.

Biasanya, beberapa konsultan perilaku kucing bersertifikat, rumah sakit hewan, dan tempat penampungan hewan akan menawarkan kelas sosialisasi kucing, yang sering disebut taman kanak-kanak kucing.

Sosialisasi yang buruk pada kucing dapat mengakibatkan kucing menjadi pemalu, takut pada hewan peliharaan lain, lambat beradaptasi dengan lingkungan baru, dan merasa takut dan agresif saat kunjungan dokter hewan rutin.

Selain itu, kucing-kucing ini lebih cenderung menjadi stres dan/atau ketakutan serta mulai buang air kecil tidak pada tempatnya. Jika tidak buru-buru diperbaiki, hal ini bisa membuat pemilik malah melepaskan kucing mereka.

Nah sebaliknya, anak kucing yang bersosialisasi dengan baik dan mengalami berbagai pengalaman positif di sekitar orang yang berbeda, akan memiliki keterampilan mengatasi masalah yang lebih baik.

Hal ini akan menghasilkan ikatan yang lebih kuat antara kita dan kucing. Selain itu, masalah soal perilakunya mungkin akan lebih rendah.

Mitos: Kucing bertindak karena dendam

Tidak seperti manusia, kucing tidak akan bertindak karena dendam.

Antropomorfisme didefinisikan sebagai atribusi karakteristik manusia pada hewan atau objek. Nah, biasanya perasaan hewan ditafsirkan berdasarkan bahasa tubuh manusia dan bukan bahasa tubuh kucing.

Misalnya, jika pemilik kucing mengira bahwa kucing buang air di luar kotak pasirnya karena dendam, pikiran negatif pun akan timbul dan meningkatkan masalah.

Kita seringkali menyamakan alasan kucing dengan alasan manusia. Padahal kucing melakukan itu karena sebab lain.

Jika dapat mengatasi penyebab sebenarnya (misalnya stres, ketakutan, kecemasan, atau masalah medis), pemilik kucing akan melakukan pendekatan dengan cara empati dan akan mendapatkan bantuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah kucing.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/01/07/091516420/menguak-4-mitos-terkait-perilaku-kucing

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke