Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ini Alasan Kenapa Manusia Sering Menyalahkan Takdir

Oleh: Fauzi Ramadhan dan Fandhi Gautama

KOMPAS.com - Alam semesta berisi ruang dan waktu yang didalamnya terdapat energi dan materi, termasuk manusia.

Ketika berada di dalamnya, ruang dan waktu manusia seakan-akan terbatas. Akan tetapi, mereka tetap memiliki kuasa akan tatanan hidup yang kelak dipilihnya. Hal ini kemudian disebut sebagai nasib.

Walaupun begitu, ruang dan waktu yang seakan-akan terbatas dimiliki manusia tersebut ternyata memang memiliki keterbatasan. Terdapat suatu titik absolut yang tak dapat manusia ubah dan tak akan bisa dihindari. Hal ini disebut sebagai takdir.

Secara praktis, manusia memiliki kecenderungan untuk menilai sesuatu, tak terkecuali tentang nasib dan takdir. Bahkan, kedua hal tersebut sering dijadikan “tameng” oleh manusia yang sedang mengalami sesuatu hal buruk.

Arvan Pradiansyah, motivator ternama sekaligus CEO Institute of Leadership and Life Management, memberikan pandangannya mengenai persoalan takdir dan nasib ini melalui episode siniar (podcast) Smart Inspiration edisi Smart Happiness bertajuk “Mengapa Takdir atau Nasib Sering Menjadi Tameng?” di Spotify.

“Banyak orang yang tidak bertanggung jawab sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada dirinya, ia kemudian menyalahkan sekitarnya. Kalau tidak ada lagi yang bisa disalahkan, maka ia menyalahkan Tuhan,” tutur Arvan.

Tidak berhenti di situ saja, Arvan mengungkapkan bahwa orang-orang tersebut juga menyalahkan takdir dan nasib atas kesialan yang dialami.

Namun, uniknya, mereka justru menjadikan hal tersebut sebagai “tameng” untuk melindungi diri. Usaha ini dilakukan supaya tetap merasa nyaman ketika melawan rasa kecewa dan malu.

“Ya, takdirnya memang begitu, nasibnya sudah begitu, maka mau diapain. Ini kan bukan saya yang mau, karena saya maunya berhasil,” ucap Arvan meniru bagaimana cara mereka menyalahkan takdir dan nasib.

Arvan kemudian mengungkapkan apa sebab takdir dan nasib menjadi kambing hitam ketika menerima kesialan. “Karena mereka lihat bahwa konsep takdir dan nasib itu hanya membatasi gerak kita,” ujar pria kelahiran empat Februari tersebut.

Lebih lanjut, menurut Arvan, pembatasan gerak tersebut juga diakibatkan dari pemahaman konsep takdir dan nasib yang bias.

“Kalau berpegang pada takdir, sementara kita tidak tahu takdir kita kedepannya bagaimana, akhirnya yang terjadi adalah pembatasan diri atau limiting belief,” ungkap Arvan.

Oleh karena pembatasan tersebut, lantas seseorang pada akhirnya berakhir menyalahkan dan menjadikan takdir dan nasib sebagai tameng atas kegagalan.

Padahal, jika kita menilik persoalan ini secara bijak, kecenderungan untuk mengkambinghitamkan takdir dan nasib bukanlah sesuatu yang tepat.

Seharusnya, kita mengevaluasi diri atas kegagalan yang dialami sehingga mampu terciptanya proses pengembangan diri.

Potongan pembahasan di atas bisa kamu dengarkan lebih lengkap dalam episode “Mengapa Takdir atau Nasib Sering Menjadi Tameng” podcast Smart Inspiration edisi Smart Happiness.

Selain membahas problematika takdir dan nasib, podcast Smart Inspiration juga menyajikan informasi-informasi bermanfaat, dimulai dari menjalankan bisnis, elaborasi perspektif, sampai tips mengupayakan hidup yang lebih berkualitas dan berbahagia.

Dengarkan podcast Smart Inspiration di Spotify atau dengan mengakses tautan berikut https://dik.si/smart_takdir.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/03/31/200000720/ini-alasan-kenapa-manusia-sering-menyalahkan-takdir

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke