Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Be Kind, Save Money: Matematika Kebaikan

Tidak ada uang yang sepadan dengan sebuah kebaikan, demikian kata orang miskin. Jargon klise. Kita kan nggak bisa menghitung kebaikan… oh, ya?

Sebagai bagian dari rakyat jelata yang tentunya mempercayai jargon itu, saya akan mencoba menunjukkan bahwa kebaikan bisa dikuantifikasi dalam takaran nilai yang biasanya itung-itungan banget: bisnis.

Dalam bisnis, ada beberapa jenis modal yang mulai diakui. Modal uang yang nomor satu tentunya. Modal kemampuan atau kepintaran serta modal sosial atau network.

Ketika kami memulai Javafresh, usaha ekspor buah segar asli Indonesia, kami tidak punya tiga-tiganya. Modal kami relatif minim cenderung Senin-Kamis untuk sebuah bisnis agrikultur.

Kemampuan? Tanpa pengalaman ekspor dan pertanian sama sekali, sudah halus kalau dibilang kami bodoh banget.

Modal sosial juga surem. Untuk melamar magang di perusahaan ekspor lain saja nggak punya koneksi. Masuk desa dikira mahasiswa KKN.

Jadi kami pilih menguatkan modal yang lain: We invest in kindness. Tentu saja kami diketawain dan dikasihani orang banyak.

Tapi delapan tahun sudah umur kami dan boleh jadi ini adalah bukti bahwa kebaikan itu sudah balik modal dalam bentuk yang lain.

Kayak apa tuh bentuk investasinya?

Ketika dulu saya bekerja di sebuah loyalty agency, saya mengenal istilah Cost Per Acquistion (CPA) dan Cost of Retainer.

CPA itu adalah biaya yang dikeluarkan untuk menarik satu orang menjadi konsumen suatu produk. Bentuknya bisa iklan, bisa promo penjualan bisa bagi-bagi sampel. Ibaratnya pacaran, ini biaya PDKT.

Cost of retainer adalah biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan satu orang tetap mengonsumsi produk tersebut. Ini biaya pacarannya.

Bentuknya bisa bentuk poin loyalty supaya jadi juragan dan anak sultan serta komunikasi data marketing yang seolah ngerti perasaan kamu banget hari ini.

Kedua biaya ini besar, dan biasanya dikuantifikasi lewat hitungan njilmet sarjana matematika yang memastikan bahwa berapapun biaya yang dikeluarkan, bisa balik modal dalam jangka waktu tertentu lewat keuntungan penjualan produk.

Termasuk di dalamnya ada gaji rekan-rekan yang bertugas membungkus itungan njlimet itu ke dalam program-program tadi.

Dalam pertanian, biaya ini mirip dengan farmer’s acquisition and retainer cost. Sebuah biaya untuk menjaring petani agar mau menanam produk sesuai dengan kriteria dan kualitas yang diinginkan lalu menjualnya pada perusahaan.

Ada beberapa cara untuk melakukan ini, seperti memodali bibit dan pupuk, membentuk tim penyuluh, atau memberi uang tanam.

Karena petani Indonesia banyakan mikro lahannya cuma sehektaran, biaya ini jadi besar banget. Belum lagi bayar pengawas yang perlu memastikan petani melakukan yang diharapkan perusahaan.

Biaya akuisisi kami di awal usaha adalah uang bensin mobil kami ketika berkeliling desa ke desa, membuat penyuluhan yang bercerita tentang bagaimana buah yang selama ini dilepeh-lepeh bisa bawa nama masing-masing petani, bahkan nama bangsa dengan sistem ketelusuran dan takaran kualitas yang harus disepakati bersama.

Kami menggunakan ekosistem yang sudah ada untuk bekerja dengan sistem baru. Kami percaya jika petani punya kebanggaan terhadap produk, maka mereka akan mau berinvestasi merawat kebun, melakukan SOP. Biaya pengawasan atau bayar di depan tidak diperlukan lagi.

Contoh lain. Barang kami dikomplain karena masih ada serangga. Dikredit sepesawat-pesawatnya. Senormalnya adalah teguran pada pekerja yang bertanggung jawab, terkadang ada sanksi.

“Ibu-ibu kerjanya kurang bagus ya, Bu?” tanya salah seorang packer, seorang ibu berusia 60 tahun ke gue sambil tersenyum enggak enakan.

Masa ya kalau mereka sengaja salah beliau akan bicara seperti itu? Kami yakin packers kami baik. Maka langkahnya adalah melakukan ketelusuran.

Saat itu manggis datang dari daerah yang jauh, sehingga seringkali baru tiba di packing house pada malam hari.

Para ibu-ibu paruh baya ini membersihkan seteliti mungkin, dengan mata memicing-micing. Kini kami tahu di mana masalahnya.

Keesokannya segerombol ibu-ibu itu dibawa ke Puskesmas untuk tes mata. Seminggu kemudian, set kacamata plus buatan China sesuai dengan ukuran masing-masing dibagikan.

Barang tidak pernah diklaim lagi. Rp 20.000 per orang adalah harga yang harus dibayar sebagai biaya kontrol untuk menghindari ribuan dolar kredit Plus membangun loyalitas tim.

See? Kebaikan dan kepercayaan bisa dikuantifikasi menjadi angka materi yang bisa dihemat atau bisa didapatkan. Dan nilainya benar-benar substansial.

Lalu bagaimana caranya memulai bertransaksi kebaikan?

Sama seperti uang, kebaikan tidak akan punya nilai jika ia PALSU. Untuk bisa benar-benar bertransaksi dengan kebaikan, you need to sincerely mean it.

Jika kita benar-benar peduli, kita akan mengambil keputusan yang paling mengedepankan kepentingan dan kebahagiaan orang lain.

And people would feel it and respond to you in the same way. Karena mereka mulai bertransaksi dengan kebaikan.

Sehingga terjadilah syarat alat tukar yang kedua. Selembar kertas berhologram itu baru akan berharga jika sekelompok orang dalam sebuah institusi sepakat akan nilainya dan mulai bertransaksi menggunakan alat tukar tersebut.

Seperti dalam sistem ekonomi lainnya, there will be fraud of course. Orang-orang yang menyalahgunakan kebaikan hati orang lain dan mengambil keuntungan materi.

Atau karena kena inflasi terlalu banyak menerima kebaikan, banyak yang take for granted. Kayak kalau cewek-cewek bilang kamu terlalu baik untuk aku.

Saya tidak bilang bahwa selama delapan tahun itu kita tidak pernah dicipoain orang. Tetapi sistem selalu bisa menyaring dan menyeleksi orang-orang yang tidak sesuai dengan sistem tersebut.

Dalam kasus ini, ekonomi kebaikan punya caranya sendiri untuk menyingkirkan orang-orang yang… tidak baik, atau tidak mau membayar balik kebaikan. Istilah "ngepopnya", kill’em with kindness.

Kami tidak pernah sekalipun memecat karyawan, yang ketauan korup sekalipun. Jika kami tegur keras atau hukum, mereka akan merasa dipermalukan, dendam dan bisa saja membuat keburukan lain.

Rather, kami membuat sistem saling kontrol dengan par, sehingga mereka yang tidak ‘baik’ akan tersorot dan terkucil oleh sisa tim yang ‘baik’. Merasa malu dan tidak cocok dengan rekan kerja, mereka biasanya akan resign sendiri.

Demikian juga dengan mereka yang menjelek-jelekkan kami.

“Bu, kami harus balas apa?” tanya seorang kepala petani yang mendengar kami dibilang bukan orang asli, cuma penjajah yang pasti nantinya akan mengeruk segala harta kekayaan bangsa.

“Diam saja. Fokus saja sama kerjaan kita. Ngapain kita bantah hal yang memang nggak ada?” saya merespons.

Setahun kemudian kepala petani tersebut melapor,“Bu inget nggak orang yang dulu jelek-jelekin kita?”

“Oh ya, di mana mereka sekarang?” tanya gue.

“Nggak ada di mana-mana, Bu!” jawabnya setengah tertawa.

No, mereka tetap ada sih. Tetapi mereka memilih sistem ekonomi yang berbeda dengan kami. Sistem ekonomi kuat-kuatan modal.

Dan di situ kemungkinan gontok-gontokannya lebih kejam. Adu jahatlah yang mengalahkan mereka, bukan kami. Kita sih nggak bakal kuat.

Tapi bagaimana jika kita kehabisan kesabaran dalam hati?

Itulah cakepnya ekonomi kebaikan! Di sistem ini, bank yang bisa mencetak kebaikan adalah hati setiap orang masing-masing.

Dan bebas mencetak sebanyak-banyaknya yang diperlukan. Selama kita masih terus percaya bahwa kebaikan itu efektif, dan bahwa sifat utama manusia adalah luhur. You would be surprised on human’s capability of forgiving and giving.

Inget Seong-Gi Hun dong, di Squid Games? Harusnya, didera kekejaman dan melihat orang saling bunuh demi uang akan mematikan nuraninya. Tetapi tidak.

Ia percaya bahwa akan ada orang yang pada akhirnya menolong si mabuk di pinggir jalan hingga tidak mati kedinginan meski tidak seperti yang ia bayangkan. Ia tetap percaya kemanusiaan.

Kebetulan, ia jugalah yang berhasil keluar dengan renumerasi uang paling banyak di akhir cerita. Satu-satunya yang berupaya untuk tidak nyikut temen, kecuali sekali sih…

Jadi… kebaikan sebagai ‘Business as Usual’ bukan sekadar ‘act’ of kindness sekali-sekali ternyata bisa dijalankan dalam bisnis beneran!

Dan seandainya tidak punya bisnispun, matematika kebaikan tetap dapat diterapkan, dalam menghargai diri sendiri dan orang lain.

Kita terlalu sering menggunakan takaran fisik untuk menilai suatu manusia. Kaya, tentu lebih OK daripada miskin.

Cantik pastinya lebih dipilih daripada jelek. Pintar, lebih favorit dibandingkan bodoh. Populer, lebih jadi aspirasi dibandingkan tak dikenal.

Tetapi seberapa kita menghargai orang baik dan melihat kebaikan dalam diri sebagai sebuah aset yang berharga?

Iya sih, perempuan-perempuan suka bilang, ‘yang penting baik’, tapi apa benar pada akhirnya yang paling baik yang dipiih? Atau itu hanya jargon klise seperti di awal ketika kuberkata kebaikan itu sungguh tak ternilai harganya?

Karena di banyak takaran, kita mungkin tidak merasa kaya, tidak cantik, juga bukan yang paling pintar.

But if I have thousand people who see me as family, listen to my word and pray for my well-being, if I have such love and power, how much are you going to pay?

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/10/11/063000120/be-kind-save-money--matematika-kebaikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke