Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemburu Konser dan Fenomena Perilaku FOMO

JIKA ada bisnis yang begitu menggeliat tatkala wabah penyebaran virus Covid-19 mereda dan terkendali, konser musik adalah salah satunya.

Seorang kawan bercerita tentang anaknya yang tiba-tiba saja menjadi penggila konser. Tak satu pun konser artis dalam dan luar negeri dilewatkan, kecuali kehabisan tiket.

Rupanya sang anak ini tidak mau ketinggalan tren. Padahal ia dahulu dikenal sebagai penggemar musik pop rock.

Namun kini segala macam genre musik, menjadi incaran untuk ditonton. Ketika ada konser yang terlewat, muncul kekecewaan walaupun tidak berlangsung lama.

Unggahan di media sosial menjadi penanda kehadiran yang dinanti. Berbagi cerita dan pengalaman, mengungkapkan kegembiraan dan kebanggaan.

Hal serupa juga biasa dijumpai pada perhelatan lain, tidak cuma konser. Acara yang berpotensi viral atau telah menjadi bahan pembicaraan di media sosial, menjadi incaran. Rebutan tiket atau ingin hadir dengan berbagai cara menjadi hal biasa.

Para ahli perilaku menyebut fenomena ini sebagai FOMO yang merupakan kepanjangan dari fear of missing out. Przybylski dan kawan-kawan (2013) adalah sekelompok ilmuwan yang pertama mengkonseptualisasikan FOMO.

FOMO digambarkan sebagai perasaan negatif seperti cemas yang dirasakan konsumen ketika orang lain memiliki pengalaman yang diinginkan yang tidak mereka miliki.

FOMO melibatkan perasaan seperti “ditinggalkan” dan kehilangan sesuatu (Zhang dkk, 2020). FOMO diperparah oleh media sosial, yang memungkinkan pengguna untuk melihat postingan orang lain tentang pengalaman mereka dan membandingkan diri mereka dengan orang lain.

Ketika seseorang absen dalam lingkungan online, dia merasa cemas bahwa orang lain mungkin mendapatkan pengalaman yang bermanfaat dan ingin terus terhubung dengan lingkungan ini (Przybylski dkk, 2013).

Penyebab FOMO

Przybylski dan kawan-kawan (2013) menggunakan Self Determination Theory (SDT) untuk menjelaskan mengapa konsumen mengalami FOMO.

Menurut SDT, terdapat tiga kebutuhan psikologis dasar yang merupakan kesejahteraan psikologis individu, yaitu kompetensi, otonomi, dan keterkaitan.

Przybylski mengemukakan bahwa konsumen mengalami ketidaknyamanan psikologis karena kepuasan dasar dari kebutuhan individu mereka tidak terpenuhi. Konsumen mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui media sosial.

Dalam penelitian terbaru, beberapa ahli telah mengindikasikan bahwa FOMO diaktifkan oleh ancaman psikologis dari konsep diri (Zhang dkk, 2020).

Konsep diri mengacu pada "totalitas pikiran dan perasaan individu yang mengacu pada dirinya sendiri sebagai objek."

Melindungi, memelihara, dan mempromosikan konsep diri individu adalah salah satu tujuan perilaku konsumen yang paling mendasar (Ward dan Broniarczyk, 2011; Onkvisit dan Shaw, 1987).

Individu cenderung bertindak dengan cara yang konsisten dengan konsep diri mereka (Rosenberg, 1979).

Konsumen sering membeli produk atau jasa untuk mendefinisikan hubungan mereka dengan orang lain (Reed, 2002).

Oleh karena itu, kehilangan pengalaman menyebabkan ketidakkonsistenan antara konsep diri dan perilaku, yang mengakibatkan ketidaknyamanan psikologis, yaitu FOMO.

Dampak FOMO

Para akademisi telah menggunakan teori dan kerangka kerja dari berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, komunikasi dan sistem informasi untuk memahami konseptualisasi dan operasionalisasi FOMO dengan lebih baik.

Disebutkan bahwa FOMO dapat meningkatkan perkembangan emosi negatif dan kemampuan menyatakan emosi yang terkait dengan kekurangan sosial, seperti iri hati (James dkk, 2017), perenungan (Dempsey dkk, 2019) dan penurunan citra diri (Shujaat dkk, 2019).

Studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa emosi negatif ini merupakan konsekuensi dari penggunaan media sosial yang bermasalah (Blackwell dkk, 2017; Elhai dkk, 2016) dan penggunaan Internet (Tomczyk dan Selmanagic-Lizde, 2018).

Hal ini mengarah pada argumen bahwa ada hubungan timbal balik antara FOMO, media sosial yang bermasalah dan penggunaan Internet, yang dapat menyebabkan kerugian signifikan bagi kesejahteraan individu (Buglass dkk, 2017).

Dugaan ini telah menimbulkan kekhawatiran yang signifikan tentang efek FOMO di antara banyak pemangku kepentingan, termasuk akademisi, orangtua, pendidik, dan terapis (Baker dkk, 2016). Namun tentu tidak terpikirkan oleh pemasar.

Walau secara komersial dampak perilaku FOMO memberikan keuntungan bagi pebisnis, tanggung jawab sosial untuk menekan efek negatif pada konsumen yang mayoritas generasi muda tidak dapat diabaikan begitu saja.

Pemanfaatan social media marketing oleh pemasar yang lebih bertanggung jawab menjadi tuntutan yang seyogianya dipenuhi.

Perilaku FOMO yang membuat sebagian orang mabuk kepayang tak semestinya membuat konsumen kehilangan akal sehat.

*Dosen tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/06/06/063000320/pemburu-konser-dan-fenomena-perilaku-fomo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke