Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menimbang Kesehatan Mental Generasi Z Indonesia

Sementara jumlah penduduk paling dominan kedua berasal dari Generasi Milenial yang berjumlah 69,38 juta jiwa penduduk atau 25,87 persen.

Generasi Z merujuk pada penduduk yang lahir pada periode kurun waktu tahun 1997-2012 atau berusia antara 8 sampai 23 tahun. Sementara Generasi Milenial adalah mereka yang lahir pada kurun waktu 1981-1996 atau berusia antara 24 sampai 39 tahun.

Kemudian, Generasi X atau mereka yang lahir antara 1965-1980 tercatat sebanyak 21,88 persen, diikuti Generasi Baby Boomer yang mencapai 11,56 persen, Generasi Pre-Boomer atau lahir sebelum 1945 sebanyak 1,87 persen. Sedangkan, Generasi Post-Gen Z atau lahir setelah 2013 mencapai 10,88 persen.

Jadi boleh dibilang, saat ini adalah masanya Generasi Z. Berbeda dengan generasi sebelumnya, Generasi Milenial yang tumbuh di era televisi berwarna, Generasi Z tumbuh di era internet booming, di mana media sosial dan gadget adalah perantara utamanya.

Mereka aktif menggunakan gadget dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga acap kali menciptakan gaya hidup baru, bahkan menciptakan berbagai inisiatif sosial ekonomi baru yang belum pernah kita saksikan sebelumnya (unprecedented).

Kemudahan akses informasi, baik secara nasional maupun global, yang berpadu dengan semakin berkualitasnya sistem pendidikan nasional, berhasil memupuk dan membentuk Generasi Z dengan bakat profesional dan keterampilan digital yang luar biasa.

Mereka diperlengkapi dengan fasilitas digital multibahasa, yang tidak jarang berakhir dengan penguasaan kemampuan berbahasa asing yang jauh lebih cakap dan "up to date" dibanding generasi sebelumnya.

Era digital yang menggembleng keseharian mereka juga menempatkan Generasi Z ke dalam generasi yang cakap secara digital, memiliki soft skill digital yang tak melulu didapat di bangku sekolah resmi.

Walhasil, kemampuan buah dari perkembangan zaman ini menghasilkan karya-karya digital, baik profesional maupun amatir, yang juga secara mudah ikut berseliweran di dunia maya, kemudian ikut meramaikan kepadatan arus informasi nasional, bahkan tidak jarang malah ikut membentuk tren dan gaya hidup baru.

Jadi secara kapasitas dan kapabilitas, sebenarnya Generasi Z telah diperlengkapi dengan berbagai kemampuan digital yang akan memperlebar kesempatan mereka untuk terlibat secara produktif di dalam sistem ekonomi nasional.

Kemampuan tersebut tidak melulu hanya untuk ekosistem ekonomi digital nasional semata, tapi hampir dibutuhkan oleh semua sektor usaha di berbagai level, karena kebutuhan dunia usaha untuk terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Namun, “lalu lintas aneka ragam informasi” yang menjadi keseharian mereka ternyata tidak lantas membuat Gen Z lebih sehat dibanding generasi sebelumnya. Penelitian menunjukkan, bahwa Gen Z justru rentan mengalami masalah kesehatan mental.

Lihat saja, menurut hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (Gloria, 2022), 1 dari 3 remaja Gen Z di Indonesia memiliki masalah mental. Kecemasan dan depresi adalah dua masalah kesehatan mental teratas yang paling banyak diderita remaja Gen Z di Indonesia.

Tumbuh di dunia dengan tingkat "kesalingterhubungan digital yang sangat tinggi” justru berpeluang besar membangkitkan rasa terisolasi dan kesepian di kalangan Generasi Z.

Dengan kata lain, Gen Z tumbuh dewasa di dalam lingkungan digital yang cenderung membangkitkan rasa stres dan kecemasan secara berkelanjutan.

Masifnya gelombang informasi melalui media sosial, yang dimotori oleh spirit post truth atau pembangunan kesan yang luar biasa masif, baik karena kebutuhan korporasi dalam menggaet konsumen maupun karena motif ekonomi politik yang meraih suara, sering kali menggeser keyakinan dan kebenaran konvensional yang selama ini dianut oleh generasi terdahulu.

Situasi ini membawa Generasi Z pada posisi tanpa pegangan di satu sisi, layaknya generasi terdahulu, tapi juga secara mental dan psikologi, umurnya berada pada rentang yang juga tak memiliki kemampuan untuk menemukan pegangan baru. Walhasil, kecemasan atau anxiety adalah harga yang harus dibayar oleh Gen Z.

Selain anxiety, perasaan mudah stres adalah masalah mental lainnya. Penelitian terbaru di Amerika Serikat tahun 2022 lalu dari The American Journal of Community Psychology menunjukkan bahwa anak muda Amerika pada rentang usia antara 13 dan 24 tahun adalah masyarakat dengan rentang umur yang paling banyak dipengaruhi stres pandemi dibanding generasi lainnya.

Ketidakpastian dan ketakutan akan virus adalah salah satu sumber stres utama Generasi Z di sana.

Lebih dari itu, berdasarkan hasil penelitian yang sama, Generasi Z juga merasa stres atas kehidupan sosial, pekerjaan, dan sekolah mereka.

Beberapa pendapat ahli memberi pembenaran bahwa Gen Z sangat terpengaruh oleh hal-hal seperti itu karena saat ini adalah masa transisi kehidupan mereka.

Namun efek yang dirasakan Gen Z nyatanya lebih besar dibanding efek yang dirasakan generasi sebelumnya dan pola reaksinya berbeda dengan Generasi Milenial di eranya.

Karena itu, rasa mudah stres yang dialami Generasi Z sangat patut dijadikan perhatian, baik oleh pihak sekolah maupun orangtua, bahkan termasuk oleh pemerintah/Negara.

Masalah tak hanya sampai di sana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Generasi Z juga rentan terjangkit hasrat bunuh diri yang melebihi generasi sebelumnya.

Menurut kajian "Journal of American Association (JAMA) Network of Medical Journals", tingkat bunuh diri untuk individu dari segala usia di Amerika Serikat meningkat 30 persen dari tahun 2000 hingga 2016 dan mencapai puncaknya untuk kaum muda pada 2017.

Peningkatan tersebut justru karena tingginya kontribusi tingkat depresi dan percobaan bunuh diri remaja akibat penggunaan secara berlebihan media sosial.

Data bunuh diri tersebut seirama dengan data tingkat depresi anak muda dunia. Menurut penelitian Lancet tahun 2021; sebuah jurnal kedokteran mingguan terbitan Elsevier yang menjadi salah satu barometer kajian medis dunia hingga hari ini, tingkat depresi dan kecemasan dunia meningkat lebih dari 25 persen pada 2020.

Justru kelompok usia yang lebih muda mengalami peningkatan lebih besar daripada kelompok lebih tua, di mana kelompok usia 20 hingga 24 tahun mengalami lompatan terbesar dibanding generasi lainnya.

Masih menurut Lancet, di Amerika Serikat, tingkat depresi naik pada 2021 menjadi hampir 33 persen, di mana 1 dari setiap 3 orang Amerika berusia 18 tahun atau lebih mengalami depresi.

Di Indonesia, kecenderungan mentalitas Generasi Z tidak jauh berbeda dengan hasil survei di Amerika Serikat dan di level dunia.

Berdasarkan hasil survei Alvara Research Center, ada 28,3 persen responden dari Generasi Z yang mengaku cemas. Rinciannya, sebanyak 23,3 persen merasa cemas dan 5 persen lainnya sangat cemas atau depresi.

Alvara melakukan survei terhadap 1529 responden di 34 provinsi seluruh Indonesia. Survei dilakukan dengan metode multistage random sampling pada 20-31 Maret 2022.

Pendeknya, data dan hasil penelitian di atas, yang sejatinya mengungkap kerentanan Generasi Z kita terhadap masalah dan penyakit mental, harus segera dijawab oleh generasi senior, yang kini bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan, baik di bidang ekonomi bisnis, politik, sosial budaya, dan lainnya.

Perbedaan zaman antara generasi senior dengan Generasi Z mengharuskan kita, terutama pemerintah, untuk segera melahirkan terobosan-terobosan kebijakan pendidikan yang lebih sensitif terhadap kebutuhan anak muda Generasi Z di negeri ini.

Termasuk kebijakan yang lebih banyak melibatkan orangtua di satu sisi dan meningkatkan peran pengawasan psikologis di sisi lain.

Pun maraknya model pendidikan homeschooling juga perlu menjadi perhatian pemerintah, terutama Kemendiknas.

Berkembangnya model pendidikan ini justru menggambarkan kegagalan institusi pendidikan kita dalam merangkul semua kalangan ke dalam sistem pendidikan nasional di satu sisi dan kurang adaptifnya ekosistem pendidikan Indonesia pada perkembangan kebutuhan pendidikan kelompok masyarakat tertentu di sisi lain.

Kebijakan di sektor ketenagakerjaan juga tak kalah pentingnya. Pengadaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak memberikan kepastian kepada masa depan Generasi Z sangat penting sifatnya.

Jaminan penghasilan yang bisa mengarahkan para Generasi Z untuk lebih leluasa dalam merancang masa depannya harus diutamakan, baik dalam hal kepemilikan rumah, jaminan kesehatan, jaminan waktu yang cukup untuk berlibur, keberadaan infrastruktur yang mendukung mobilitas pekerjaan, infrastruktur untuk menjamin ketersediaan ruang untuk relaksasi seperti olahraga dan rekreasi, dan lainnya, perlu dirancang sesuai dengan kebutuhan Generasi Z.

Selanjutnya soal ketersediaan plus kemajuan sistem pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit-Rumah Sakit Jiwa milik pemerintah, yang nampaknya masih belum mampu menjadi tempat bersahabat bagi Generasi Z yang membutuhkan layanan kesehatan mental, mulai dari kasus depresi sampai percobaan bunuh diri.

Infrastrukturnya pun masih tertinggal jauh dibanding perkembangan zaman yang melingkupi pertumbuhan mental Generasi Z.

Dan terakhir soal sentuhan religius yang terbilang tidak terlalu optimal mengenai Generasi Z. Hari-hari yang didominasi oleh penggunaan gadget, media sosial, dan aktifitas pendidikan/pekerjaan cenderung super padat, membuat Generasi Z agak berjauhan dengan kehidupan religius.

Bahkan sebagian malah justru mulai skeptis dengan keterlibatan unsur spritual di dalam hidupnya.

Minimnya sentuhan religius ini membuat Generasi Z semakin rentan secara mental spritual. Mereka kehilangan pegangan keyakinan yang sejatinya bisa mereka gunakan untuk membentengi diri dari kelabilan emosional dan ketakutan atas ketidakpastian masa depan.

Karena itu, Kemendiknas berserta stakeholder dunia pendidikan kita harus menemukan cara kreatif dan inovatif dalam memadukan pendekatan religius spritual ke dalam dunia pendidikan, agar generasi muda kita ke depannya lebih bisa menemukan cara untuk menyeimbangkan antara perkembangan intelektualitas dan spritualitas.

Singkat kata, dari bahasan panjang di atas, muncul pertanyaan penutup, mengapa begitu penting bagi kita untuk memikirkan hal ini?

Karena Generasi Z adalah generasi tulang punggung yang akan menentukan apakah Indonesia memang bisa menjadi emas atau justru menjadi perak atau perunggu di era Indonesia emas nanti. Semoga.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/08/30/060043420/menimbang-kesehatan-mental-generasi-z-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke