Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kebaya Indonesia dalam Diskursus Orisinalitas Budaya

Orisinalitas dalam KBBI diartikan sebagai keaslian; ketulenan, maka kebaya yang direlasikan dengan orisinalitas berarti sebuah produk budaya asli Indonesia.

Berdasarkan catatan ilmiah ataupun sumber literatur, sejauh ini belum ada yang mendukung asumsi tersebut sebagaimana pernah menjadi klaim sebagian pihak yang mengajukan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO dalam mekanisme single nomination.

Argumennya bahwa kebaya adalah budaya luhur milik anak bangsa dan ciri khas perempuan Indonesia di ranah internasional sejak masa silam.

Berdasarkan sumber-sumber yang ada, asal muasal kebaya di Indonesia memiliki beragam versi yang mengungkap adanya pengaruh budaya Cina dan Islam (Arab dan India), juga Eropa yang memiliki cara berpakaian lengkap (menutup tubuh atas dan bawah).

Biranul Anas dalam Kebayaku (Suryawan, 2014) berpendapat bahwa kebaya berasal dari bahasa Arab "habaya" atau "abaya" (pakaian labuh berbelahan depan). Namun tidak menemukan catatan tertulis tentang kebaya ataupun baju kurung yang besar kemungkinan lahir dari adanya kegiatan perdagangan dengan bangsa Arab, Cina, dan India (Muslim Gujarat) yang memberi pengaruh dalam tata busana.

Pendapat lain mengklaim kata cambaia, nama kota di India Selatan yang di abad pertengahan terkenal sebagai pusat industri tekstil masa abad pertengahan yang menghasilkan kain muslin, yang kemudian banyak dipakai untuk kebaya sehingga kata cambaia pun berangsur berubah menjadi kata kebaya.

Pandangan lain mengisahkan kebaya lahir di Jawa yang kemudian menyebar dan berkembang ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Dengan terjadinya hubungan dagang pada masa Majapahit abad ke-7, melahirkan pengaruh budaya berpakaian di daerah lain.

Ria Pentasari (2007) mengemukakan tentang kebaya yang berkaitan dengan pakaian panjang perempuan masa dinasti Ming di Tiongkok yang menyebar ke Asia Selatan dan Tenggara abad ke-13 sampai ke-16 melalui penyebaran penduduk dari wilayah Tiongkok ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi.

Pada masa penyebaran agama Islam, kebaya menjadi busana yang populer dan menjadi simbol status dilihat dari dokumentasi lama Kerajaan Islam Cirebon, Surakarta dan Yogyakarta yang menunjukkan penggunaan kebaya yang dipadu dengan kain batik (jarik) sebagai bawahan oleh keluarga kerajaan.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (1996) tidak banyak menemukan catatan sejarah Nusantara yang menyebutkan budaya berpakaian yang menjadi cikal bakal pakaian daerah.

Lombard memang menemukan data adanya pakaian dengan teknik jahit berupa pantalon untuk laki-laki dan kebaya untuk perempuan sejak abad ke-15 sampai abad ke-16. Namun belum ada yang dapat menggambarkan secara utuh transformasi dari sehelai kain menjadi pakaian.

Orisinalitas dalam pakaian tradisional sebuah etnis, ras maupun bangsa, dikaji lebih jauh melalui beberapa temuan penelitian yang diungkap Eicher dalam Anthropoly of Dress (2000), antara lain Shelag Weir yang meneliti di wilayah Jaffa, Palestina.

Ia menyebut asumsi "one village, one style" tidak sepenuhnya benar dikarenakan terjadinya perubahan dalam pakaian tradisional masyarakat lokal akibat pengaruh berbagai nilai dari luar yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian, ciri khas yang membedakan pakaian tradisional dan pakaian modern pada dasarnya bersifat cair. Setiap wilayah saling berinteraksi dan saling memberi pengaruh dalam budayanya masing-masing.

Eicher menegaskan ethnic dress mulai eksis ketika kelompok-kelompok masyarakat membandingkan pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian yang dikenakan kelompok masyarakat lain, seperti temuan Sandra Niessen dalam pakaian Batak yang terjadi dari dinamika pengaruh budaya Muslim Melayu, misionaris Kristen dan kolonial Eropa.

Hilda Kuper (1973) yang meneliti pakaian Swazi menggambarkan relasi kompleks sebuah negara di benua Afrika yang mendapat pengaruh budaya modern (Barat).

Ia melihat tidak ada tren pakaian yang sifatnya tunggal karena pakaian bukan semata hasil dari kreasi individual yang mengekspresikan pilihannya, tetapi juga terkait dengan aspek sosial, ekonomi dan politik yang berlaku saat itu.

Interpretasi terhadap identitas pakaian pada masa kini telah bergerak dari batas-batas budaya menuju pada interkoneksi global sebagai konsekuensi dari globalisasi yang terus melintasi negara-negara dan menguatkan terjadinya interaksi yang saling memengaruhi.

Apabila orisinalitas direlasikan dengan identitas, kita perlu menengok Stuart Hall dalam Questions of Cultural Identity yang mempertanyakan siapa yang sesungguhnya membutuhkan ‘identitas’, khususnya bagi yang hidup pada masa modern akhir.

Menurut Hall, identitas budaya sesungguhnya tidak stabil, bahkan terfragmentasi dan tidak bersifat tunggal disebabkan terjadinya proses perubahan yang terus menerus secara kultural, sebagai proses konstruksi yang tidak pernah lengkap dan “selalu berproses” (hlm.2).

Argumen ini mengingatkan catatan sejarah yang mengonstruksikan kebaya sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada masa pra kemerdekaan, kemudian menjadi identitas nasional Indonesia masa pascakemerdekaan sebagai negara baru.

Pada masa Orde Baru, kebaya berubah menjadi identitas yang direlasikan dengan hegemoni budaya Jawa, sehingga ketika memasuki masa pascareformasi timbul pembelokkan pemahaman bahwa kebaya adalah (semata) Jawa, meskipun sebenarnya tradisi memakai kebaya terdapat juga di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa.

Argumen Shelag Weir mengenai tidak tepatnya asumsi “One Village, One Style” menjadi dasar yang komprehensif dalam mengukur valid atau tidaknya “One Nation, One Style” terhadap klaim orisinalitas kebaya Indonesia.

Karena pada hakikatnya budaya nusantara terbentuk dari proses panjang akulturasi dan asimilasi yang telah berlangsung ratusan tahun antara budaya lokal dan budaya luar.

Identitas kebaya terbentuk dari terjalinnya interaksi antara nilai-nilai lokal dan budaya luar Indonesia yang terus berproses dan bernegosiasi.

Dengan demikian, kebaya tidak dapat mengelakkan diri dari interkoneksi global semenjak awal keberadaannya di bumi nusantara sampai saat ini.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/08/31/161343720/kebaya-indonesia-dalam-diskursus-orisinalitas-budaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke