Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Stop Jadi "People Pleaser" Demi Kesehatan Mental

Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata

KOMPAS.com - Menjaga hubungan baik dengan orang-orang sekitar itu diperlukan, salah satunya dengan menghindari konflik. Akan tetapi, jika caranya dengan menjadi people pleaser atau selalu berorientasi untuk menyenangkan orang lain, maka hal itu keliru.

Menurut Debbie Sorensen, Psikolog Klinis, people pleaser sangat rentan mengalami kelelahan. Terlebih, jika orang tersebut dikenal baik hati, bijaksana, serta sulit mencurahkan emosi. Alhasil, ia akan terus berkata ‘ya’ dan merasa bersalah jika berkata ‘tidak’.

Hal ini pula yang dirasakan Bilqis dalam siniar Anyaman Jiwa episode “Ceritaku Jadi People Pleaser” dengan tautan s.id/AnyJiwPleaser. Ia mengaku susah menolak permintaan orang karena ingin selalu ada buat sekitarnya hingga lupa bahwa manusia juga punya batas dan kapasitas.

People Pleaser Sulit Buat Batasan

Orang yang merupakan people pleaser berbeda dengan sifat kebaikan, kemurahan hati, atau altruisme. Sebab, people pleaser akan sulit untuk mengatakan tidak dan akan menyetujui hal-hal yang tidak diinginkan atau tidak mampu dilakukan.

Misalnya, selalu mau membantu teman yang kesusahan, padahal saat itu kita sedang dilanda masalah berat.

Mayoritas people pleaser cenderung sulit menetapkan batasan hingga menyebabkan kelelahan dan stres kronis. Hal ini karena orang tersebut secara konsisten berusaha menyenangkan orang lain dan sering kali mengorbankan keinginan atau kebutuhannya sendiri.

Sayangnya, perilaku people pleaser ini sulit dihentikan. Mereka mungkin merasa perlu menjadi apa pun yang diinginkan orang lain. Alhasil, mereka jadi mengesampingkan perasaan atau emosi mereka yang sebenarnya dengan dalih ‘gak enakan’.

Untuk sementara waktu, menyenangkan orang lain akan terasa bahagia. Faktanya, perasaan ini tak akan bertahan lama dan justru merugikan diri sendiri. Ini disebabkan kurangnya energi untuk memperhatikan kondisi diri sendiri; apakah sudah burnout atau kelelahan.

Selain enggan berkata ‘tidak’, people pleaser juga ditandai dengan sering kali melakukan pekerjaan ekstra atau memiliki tanggung jawab di luar kewajibannya, menghindari konflik untuk diri sendiri, enggan berkata jujur, hidup hanya mengikuti arus, adanya tekanan untuk selalu bersikap baik, dan cemas serta frustrasi jika ada orang yang konflik dengannya.

Berhenti Jadi People Pleaser

Jika sudah terlanjur menjadi people pleaser, tak ada yang tak mungkin untuk menghentikannya. Mengutip Psych Central, ada beberapa kiat yang bisa dilakukan meskipun tak mudah pada awalnya.

Pertama, sadar bahwa kita punya pilihan untuk menolak. Ingatlah bahwa memiliki kesadaran untuk menolak bisa bermanfaat besar untuk menghentikan perilaku ini.

Kedua, identifikasi prioritas kita. Dalam menyelesaikan sesuatu, kita harus mendahulukan tanggung jawab atau pekerjaan wajib terlebih dahulu sebagai bentuk prioritas. Apabila semuanya telah selesai, kita baru boleh menolong orang lain.

Ketiga, belajar menetapkan batasan. Hal ini bisa dimulai dengan melakukan penolakan dan menjelaskan alasan kenapa kita menolak untuk membantu orang tersebut. Komunikasikan secara asertif agar ia mengerti.

Jika orang tersebut merespons dengan negatif, artinya ia hanya memanfaatkan kita untuk kepentingan pribadinya.

Lantas, bagaimana kisah lengkap Bilqis untuk terbebas dari perilaku people pleaser? Dengarkan jawaban lengkapnya melalui siniar Anyaman Jiwa episode “Ceritaku Jadi People Pleaser” dengan tautan s.id/AnyJiwPleaser.

Akses sekarang juga playlist YouTube Medio by KG Media untuk mendapat informasi lebih banyak seputar kesehatan mental yang bisa menunjang kehidupan sosial, karier, hingga romansamu.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/10/04/200000120/stop-jadi-people-pleaser-demi-kesehatan-mental

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke