PERNAH melihat seorang anak yang tidak peduli atau kasihan saat temannya sedang sedih? Anak yang tidak mau berbagi atau meminjamkan barangnya?
Anak yang tidak merasa bersalah ketika menyakiti temannya? Atau bahkan tidak mau mendengarkan orangtuanya? Mungkin ini terjadi pada anak atau saudara kita sendiri.
Kondisi-kondisi di atas ini merupakan beberapa tanda kurangnya empati pada anak. Kurangnya empati dapat terjadi pada siapa saja.
Empati adalah kemampuan mengenali, memahami, dan berbagi pemikiran serta perasaan orang lain, hewan, atau karakter fiksi.
Dilansir dari Psychology Today, anak-anak dilahirkan dengan tingkat empati tertentu. Mereka memiliki keinginan untuk menjadi baik dan membantu orang lain.
Namun, sebelum menginjak usia sekitar tujuh tahun, anak belum bisa melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Anak akan mampu melihat dunia dari sudut pandang orang lain seiring berjalannya usia.
Selain mengajarkan keterampilan akademis seperti membaca, menulis, dan menghitung, penting juga untuk membangun empati pada anak sejak usia dini.
Penanaman empati sejak dini sangat penting agar dapat membantu anak dalam memahami dan menghargai perasaan orang lain, serta dapat memahami dan merasakan suatu hal berdasarkan sudut pandang orang lain.
Selain itu, dengan menanamkan kemampuan berempati sejak dini, anak dapat memiliki kemampuan bersosialisasi, berinteraksi, serta menjalin kerja sama yang baik dengan lingkungan di sekitarnya.
Salah satu dampak jika anak memiliki empati yang rendah adalah dapat memicu munculnya perilaku agresif.
Perilaku agresif adalah segala perilaku atau tindakan yang bertujuan menyakiti orang lain, hewan, maupun merusak properti.
Anak dapat menunjukkan perilaku agresif berupa mengejek atau membicarakan orang lain, maupun memaki menggunakan kata-kata kasar.
Pengaruh rendahnya empati dengan munculnya perilaku agresif pada anak dibuktikan melalui penelitian empati pada anak usia dini di tahun 2013.
Hasil penelitian menunjukan bahwa perkembangan empati anak yang tidak optimal dapat meningkatkan perilaku agresif.
Perilaku agresif tersebut juga dapat memunculkan terjadinya bullying pada anak. Hal ini dilansir dari hasil penelitian pengaruh perilaku bullying terhadap empati ditinjau dari tipe sekolah pada 2018.
Hasil penelitian menunjukkan hasil pengendalian empati terhadap perilaku bullying sebesar 3,3 persen.
Dapat disimpulkan bahwa empati memiliki pengaruh dalam meminimalkan terjadinya perilaku bullying pada anak.
Dengan mengembangkan dan meningkatkan empati pada anak sejak dini, maka kita dapat mencegah terjadinya perilaku agresif atau bahkan perilaku bullying pada anak yang dapat berlanjut sampai dewasa.
Lalu, bagaimana untuk mengetahui jika seorang anak sudah memiliki empati yang cukup baik?
Anak yang memiliki empati berarti anak dapat mengerti serta memahami perasaannya maupun orang lain yang memiliki pandangan dan perasaan yang juga berbeda dengannya, dapat mengatur emosinya, menempatkan dirinya pada posisi orang lain, dan memberikan reaksi yang baik terhadap permasalahan orang lain.
Goleman (1996) membagi ciri orang yang memiliki empati akan mampu ikut merasakan perasaan orang lain (sharing feeling).
Misalnya dengan peka terhadap perasaan orang lain, memiliki kesadaran diri yang kuat untuk menjaga perasaan dan tidak menyakiti orang lain, memiliki inisiatif untuk mengambil peran (role taking) dengan menawarkan bantuan atau berbagi sesuatu untuk orang lain dan mampu mengendalikan emosinya.
Lalu, bagaimana mengetahui seorang anak yang kurang memiliki empati? Hal ini dapat kita lihat ketika seorang anak terus-menerus bertindak dengan cara menyakiti orang lain seperti kekerasan fisik maupun ejekan verbal.
Perilaku tersebut menunjukkan bahwa anak tidak mengembangkan kemampuan untuk memahami bagaimana dampak tindakan mereka terhadap orang lain.
Misalnya, melakukan perundungan, merebut mainan/barang milik temannya, ikut tertawa ketika melihat temannya dirundung atau diejek, melakukan perilaku yang menyakiti orang lain dan tidak mau meminta maaf.
Jika anak sudah sekolah dan memiliki lingkar sosial yang lebih luas, amati dan tanyakan kepada wali kelas bagaimana cara anak berinteraksi dan berperilaku dengan teman, guru, atau pengurus lingkungan sekolah.
Jika anak dikeluhkan kurang atau tidak memiliki empati, maka kita sebagai orangtua perlu untuk mengambil tindak lanjut yang diperlukan.
Tips membangun empati pada anak
Pertama, mendongeng (story telling). Dengan mendongeng, anak akan memahami makna kebaikan dari pesan yang terkandung dalam cerita tersebut dan meniru sikap maupun perilaku yang lebih empatik terhadap teman dan orang lain.
Kedua, memberikan edukasi melalui video atau film animasi mengenai relasi sosial anak dengan teman sebaya atau interaksi anak-orangtua yang menyentuh dan memberikan pesan sosial merupakan cara yang efektif.
Bentuk penyampaian secara audio visual membuat anak lebih tertarik dan dapat langsung menerapkannya dalam sikap perilaku sehari-hari. Orangtua perlu membahas dan menekankan perilaku mana yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru anak.
Ketiga, meminta bantuan kecil, seperti mengambilkan air minum, membantu adiknya, merapikan mainan dan tidak lupa memberikan apresiasi jika anak bersedia melakukannya. Anak akan sadar bahwa orang lain membutuhkan bantuannya.
Keempat, ajak anak untuk memberikan bantuan kepada orang yang kurang beruntung, seperti memberikan sedekah atau sumbangan ke panti sosial. Kegiatan seperti ini melatih kepekaan sosial anak terhadap kondisi orang lain yang kurang beruntung.
Kelima, anak juga diajak untuk mengamati secara langsung kejadian apa yang mereka lihat dan dibahas langsung bersama orangtua. Misalnya, melihat ada yang memberikan sedekah kepada pengemis atau ada teman atau saudara yang saling memukul atau bertengkar.
Sebagai orangtua, penting untuk mengetahui seberapa jauh empati yang dimiliki anak karena kepekaan sosial akan menjadi dasar interaksi anak bersosialisasi di lingkungannya.
Anak yang memiliki empati akan mampu membangun relasi sehat dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, memiliki pengaruh positif, baik dari dalam diri sendiri maupun ke orang lain.
Sebagai orangtua, kita pasti ingin anak kita menyukai diri sendiri dan diterima oleh lingkungannya. Kalau sudah tahu manfaat anak yang empatik, yuk sama-sama kita bangun empati dalam diri anak kita!
*)Patricia Helga Harun, Veronica Venesia, Sherleen Sharkesyan adalah mahasiswa program studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Denrich Suryadi, M.Psi., Psikolog adalah dosen Program Studi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
https://lifestyle.kompas.com/read/2024/06/16/152345520/pentingnya-membangun-empati-pada-anak-sejak-dini