JAKARTA, KOMPAS.com – Tidak semua orangtua langsung mengetahui bahwa anaknya menjadi korban perundungan (bullying) di sekolah.
Terkadang, mereka baru mengetahuinya beberapa tahun kemudian saat sang buah hati akhirnya bercerita ke orangtua.
Psikolog anak dan keluarga dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Samanta Elsener mengungkapkan, orangtua sebenarnya bisa mengetahui anak menjadi korban tanpa menunggu mereka bercerita.
“Peka enggak orangtuanya? Enggak semuanya peka. Kalau kita mau peka, kita bisa lihat ada perubahan sikap dari anak,” jelas dia dalam podcast Kompas Lifestyle, Ruang Keluarga, bertajuk “Anak Terlalu Dimanja Bisa Jadi Pelaku Bullying”, Rabu (30/10/2024).
Kunci utama dari kepekaan atau sensitivitas terhadap anak adalah profil orangtua. Apakah mereka ingin meluangkan waktu untuk mengobrol dengan anak atau tidak.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut mungkin sulit dilakukan oleh orangtua yang bekerja di luar kota, serta menaruh anak di panti asuhan dan hanya sesekali menengoknya.
Meski orangtua hadir dalam kehidupan sang anak, belum tentu mereka bisa “terkoneksi” dengan si kecil.
“Ada yang profil orangtuanya memang mengabaikan anak. Walaupun (memberi) banyak fasilitas, pokoknya tahunya (anak) belajar, nilainya bagus, dikasih target. Ada yang kayak gitu, jadi enggak akan pernah tahu anaknya di-bully atau enggak,” kata Samanta.
Lebih peka pada anak
Samanta menyarankan agar orangtua lebih peka pada anaknya. Ini bisa dimulai melalui keinginan untuk menjangkau anaknya dengan rasa penasaran terkait kegiatannya di sekolah.
Namun, jangan sekadar “berkomunikasi” dengan nada dan pertanyaan yang monoton, misalnya menanyakan “Bagaimana ceritanya hari ini di sekolah? Di sekolah belajar apa saja?” setiap hari.
Bukan berarti orangtua tidak boleh menanyakan hal tersebut. Hanya, ajukan pertanyaan yang lebih variatif, seperti ada kejadian apa di sekolah atau perasaannya sepanjang di sekolah.
“Jadi, bagi orangtua yang memang ingin tahu anaknya kenapa, (hadirkan) sensitivitas. Satu saja,” ucap Samanta.
Setiap anak bercerita, perhatikan sikapnya. Apakah ada perubahan atau tidak. Sebab, perubahan tidak terjadi secara tiba-tiba.
Bisa saja, anak yang sebelumnya bercerita dengan ceria, lambat laun menjadi pendiam dan kerap bersedih. Seiring waktu, anak jadi tidak mau lagi bercerita kepada orangtuanya.
Untuk mencegah anak sampai ke titik tersebut, ayah dan ibu harus lebih bersemangat dalam menjalin koneksi atau bonding dengan anak.
Ini dapat membuat anak selalu percaya kepada orangtua, dan terbuka untuk menceritakan apapun yang terjadi padanya.
Ketika anak sudah terbiasa bercerita pada orangtua tentang keseharianya, maka mereka juga kemungkinan besar akan dengan mudah mengungkapkan jika sedang terkena masalah, seperti bullying.
“Kita harus selalu sampaikan sama anak, kalau ada apapun, kamu harus bilang, harus cerita,” ucap Samanta.
“(Sampaikan pada anak), karena yang bisa menolong kamu saat ini adalah kita (orangtua). Yang bisa belain kamu, kita. Kamu adalah tanggung jawab orangtua,” lanjut dia.
https://lifestyle.kompas.com/read/2024/11/01/205400920/cegah-anak-jadi-korban-bullying-sudahkah-orangtua-peka-