Mulai dari liburan ke luar negeri, barang branded, hingga pencapaian karier, semua sering dipamerkan dalam bentuk foto atau video.
Namun, konten semacam ini ternyata tidak selalu berdampak positif bagi orang yang melihatnya.
Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menegaskan, paparan berlebihan terhadap konten flexing dapat memengaruhi kesehatan mental orang lain.
“Menurut aku pasti ada, apalagi sekarang semakin banyak yang mudah terpapar dengan konten di media sosial,” kata Fionna kepada Kompas.com, Rabu (3/9/2025).
Berikut sejumlah dampak yang mungkin timbul akibat sering melihat konten flexing di media sosial.
1. Memicu kebiasaan membandingkan diri
Fionna menjelaskan, salah satu efek paling nyata dari flexing adalah munculnya kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.
“Biasanya yang melihat konten tersebut akan mudah membandingkan dirinya dengan orang lain, entah dari pencapaian atau status sosial,” ujarnya.
Hal ini membuat seseorang bertanya-tanya, “Kenapa aku tidak bisa seperti dia?” atau “Mengapa dia bisa mencapai titik itu?”.
Lama-kelamaan, perbandingan ini bisa menjadi beban tersendiri.
2. Mengurangi rasa bersyukur
Awalnya, seseorang mungkin merasa baik-baik saja dengan kehidupannya.
Namun, setelah melihat konten orang lain yang terlihat lebih sukses atau berkelimpahan, rasa syukur itu bisa berkurang.
“Hal ini membuat seseorang yang awalnya tidak masalah dengan kondisinya, karena melihat hidup orang lain lebih di atas dia, jadi merasa kurang bersyukur,” tutur Fionna.
Kurangnya rasa syukur ini bisa memengaruhi kepuasan hidup dan membuat seseorang merasa hidupnya tidak sebaik orang lain.
3. Muncul rasa iri dan FOMO
Menurut Fionna, paparan konten flexing dapat memunculkan perasaan iri dan takut tertinggal, atau yang dikenal dengan istilah FOMO (fear of missing out).
“Ketika berada di titik itu, seseorang akan merasa kepuasan terhadap hidupnya menurun dan otomatis akan memandang hidupnya lebih rendah, muncul rasa iri, dan FOMO,” jelasnya.
Rasa iri dan FOMO ini jika dibiarkan bisa membuat orang kehilangan fokus pada perjalanan hidupnya sendiri.
4. Menurunkan kepuasan hidup
Melihat kesuksesan atau kemewahan orang lain, bisa menimbulkan anggapan bahwa hidup sendiri tidak cukup baik.
“Jika berlanjut lebih lama, maka bisa semakin cemas dan merasa hidupnya stuck di satu titik saja,” ujarnya.
Penurunan kepuasan hidup ini dapat membuat seseorang merasa kurang bahagia dan kehilangan motivasi.
5. Picu stres, cemas, hingga depresi
Dampak terburuk dari paparan konten flexing yang tidak dibatasi adalah gangguan kesehatan mental.
“Itu sangat berdampak pada mentalnya, stres, cemas, self-blaming, dan depresi,” jelas Fionna.
Dengan kata lain, jika tidak dikendalikan, flexing bukan hanya membuat seseorang iri, tetapi juga bisa menimbulkan masalah psikologis yang serius.
Fionna menekankan, kunci agar tetap sehat secara mental adalah dengan membatasi diri dari paparan konten flexing.
“Akan sangat banyak pengaruhnya ke keadaan mental, jika kita tidak membatasi paparan dari konten flexing ini,” tegasnya.
Membatasi waktu berselancar di media sosial, memilih konten yang lebih bermanfaat, serta mengingat bahwa apa yang ditampilkan orang lain belum tentu sepenuhnya nyata, bisa membantu menjaga kesehatan mental.
Konten flexing di media sosial memang tidak bisa dihindari, tetapi cara kita menyikapinya sangat berpengaruh.
Oleh karena itu, penting untuk menyadari batasan diri, menjaga rasa syukur, serta fokus pada perjalanan hidup masing-masing.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/09/06/131248620/5-dampak-konten-flexing-di-media-sosial-pada-kesehatan-mental-termasuk