KOMPAS.com - Beberapa pola asuh justru meninggalkan luka emosional, pola komunikasi yang tidak sehat, atau perilaku yang terus terbawa hingga anak dewasa. Situasi ini kerap disebut sebagai pola asuh toxic.
Menurut para ahli, perilaku toxic pada orangtua bisa muncul dalam bentuk yang halus maupun terang-terangan.
Hal ini membuatnya sulit dikenali adalah karena sebagian besar terjadi dalam lingkungan yang seharusnya paling aman, yaitu rumah. Berikut lima tanda orangtua toxic yang penting dipahami.
5 Tanda orangtua yang toxic
1. Menghindari tanggung jawab
Salah satu ciri umum orangtua toxic adalah tidak mau mengakui kesalahan atau bertanggung jawab atas perilaku mereka.
Pekerja sosial klinis berlisensi di Grow Therapy, Sean Abraham menjelaskan, orangtua toxic cenderung tidak pernah meminta maaf, bahkan ketika jelas salah.
“Mereka hampir tidak pernah meminta maaf, bahkan ketika mereka bersalah,” kata Abraham, disadur dari Best Life, Kamis (4/12/2025).
Menurut Christina McWalter Granahan, terapis dan pekerja sosial klinis berlisensi, sulitnya mengakui kesalahan terjadi karena orangtua toxic biasanya tidak memiliki kesadaran diri yang cukup.
Alih-alih bertanggung jawab, mereka justru memindahkan kesalahan kepada anak. Dalam jangka panjang, pola ini membuat anak merasa selalu bersalah dan meragukan perspektifnya sendiri.
2. Tidak memiliki batasan dan melanggar batasan anak
Batasan pribadi sangat penting untuk hubungan sehat, termasuk antara orangtua dan anak. Namun, terapis hubungan, Melissa Wells mengungkapkan, orangtua toxic biasanya memiliki batasan yang buruk dan karena itu juga tidak mampu menghormati batasan anaknya.
“Orangtua toxic sering kali menolak dan mengabaikan batasan, bahkan benar-benar menginjaknya,” tutur Wells.
Contoh perilakunya bisa berupa memaksa mengetahui setiap aspek hidup anak, mengambil keputusan tanpa berdiskusi, hingga mencampuri kehidupan pribadi saat anak sudah dewasa.
Ketika batasan dilanggar secara konsisten, anak merasa tidak punya ruang untuk tumbuh sebagai individu.
3. Menggunakan manipulasi untuk mendapatkan yang mereka inginkan
Menurut Abraham, orangtua toxic jarang berkomunikasi secara langsung mengenai kebutuhan mereka.
Sebaliknya, mereka menggunakan manipulasi seperti gaslighting, guilt-tripping, atau silent treatment untuk dikabulkan keinginannya.
“Orangtua yang toxic memakai taktik seperti gaslighting, rasa bersalah, dan silent treatment untuk memenuhi kebutuhan mereka,” ujar Abraham.
Pola manipulatif ini termasuk bentuk kekerasan emosional. Misalnya, ketika anak tidak bisa datang berkunjung karena sibuk, orangtua toxic mungkin berkata, “Ibu sudah berminggu-minggu tidak lihat kamu, masa kamu tidak bisa menyisihkan 10 menit saja?”.
Selain itu, mereka bisa mengabaikan pesan dan telepon selama berhari-hari sebagai bentuk hukuman. Pola ini membuat anak merasa serba salah, takut mengecewakan, dan rentan menomorduakan kebutuhannya sendiri demi memenuhi tuntutan emosional orangtua.
4. Terlalu mementingkan diri sendiri
Granahan menuturkan, orangtua toxic memiliki kecenderungan membuat segala sesuatu tentang diri mereka.
Saat anak berbagi cerita tentang masalah atau pencapaiannya, orangtua toxic akan mengalihkan fokus kembali pada pengalaman mereka sendiri.
“Mereka memiliki kemampuan untuk membuat semuanya selalu berputar pada diri mereka,” ujar dia.
Contohnya, ketika anak mengaku lelah dengan pekerjaan, orangtua toxic bisa menimpali, “Setidaknya kamu tidak harus lembur tiga malam seperti Ibu dulu.” Atau ketika anak mendapat kenaikan gaji, mereka malah sibuk menceritakan prestasi kerja mereka di masa lalu.
Menurut Granahan, perilaku ini bisa berakar dari pengalaman masa kecil orangtua yang kebutuhannya tidak terpenuhi sehingga kini mereka cenderung mengambil porsi perhatian berlebih.
5. Membuat anak mengambil peran sebagai orang dewasa (parentification)
Parentification adalah situasi ketika anak harus mengambil peran orang dewasa dalam keluarga.
Granahan menegaskan, orangtua toxic sering memberikan tanggung jawab yang tidak sesuai usia kepada anak.
“Orangtua toxic sering membuat anak memegang peran sebagai orangtua atau pengambil keputusan keluarga,” ungkap dia.
Bentuknya bisa berupa meminta anak mengurus adik-adiknya, menjadi tempat curhat emosional, hingga menanggung beban yang seharusnya menjadi tugas orang dewasa.
Dalam jangka panjang, anak akan tumbuh dengan perasaan bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain, sulit menolak, dan sering mengabaikan kebutuhannya sendiri.
Mengenali perilaku orangtua toxic bukan tentang menyalahkan, tetapi memahami dinamika yang mungkin membentuk luka emosional sejak kecil.
Kesadaran ini membantu seseorang memperbaiki batasan, memulihkan diri, dan membangun hubungan yang lebih sehat di masa depan.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/12/04/132316420/kenali-5-tanda-orangtua-toxic-pernah-mengalaminya