KOMPAS.com - Keluarga idealnya menjadi ruang aman yang memberi dukungan, perlindungan, dan stabilitas emosional. Namun, tidak semua orang tumbuh di lingkungan yang sehat.
Dalam beberapa kasus, dinamika keluarga justru dapat berubah menjadi toxic dan memengaruhi kesehatan mental jangka panjang. Pola hubungan dalam keluarga yang tidak diatasi dapat berkontribusi pada munculnya depresi, kecemasan, rendah diri, hingga kesulitan menjalin hubungan yang sehat di masa dewasa.
Berikut enam ciri keluarga toxic yang jarang disadari, seperti dijelaskan para ahli.
Ciri-ciri keluarga toxic yang perlu diwaspadai
1. Adanya favoritisme dalam keluarga
Favoritisme atau pilih kasih bisa menjadi salah satu tanda keluarga toxic yang paling merusak.
Pekerja sosial berlisensi dan profesional trauma klinis, Candace Kotkin-De Carvalho mengatakan, memperlakukan satu anak sebagai sosok yang paling disayang dapat menimbulkan luka emosional mendalam.
“Orangtua yang condong pada satu anak akan memberi lebih banyak waktu, dukungan, atau hak istimewa. Hal ini bisa merusak harga diri anak lainnya,” ujarnya, dilansir dari Business Insider, Kamis (4/12/2025).
Dampaknya tidak hanya pada anak yang diabaikan. Anak yang menjadi kesayangan pun bisa mengalami tekanan, iri saudara, hingga hubungan keluarga yang renggang.
Ia mengungkap, beberapa survei tahun 2022 menemukan bahwa orang dewasa dari keluarga penuh favoritisme cenderung merasa lebih kesepian saat tumbuh dewasa.
2. Menjadikan seseorang kambing hitam
Menjadikan satu anggota keluarga sebagai pihak yang selalu salah juga termasuk dinamika keluarga toxic. Biasanya terjadi pada keluarga dengan orangtua narsistik.
“Orang yang dijadikan kambing hitam biasanya menginternalisasi pesan-pesan berbahaya ini hingga merasa tidak layak dicintai atau dihargai,” kata Psikoterapis Kelly Neupert.
Kondisi ini membuat korban lebih rentan mengalami depresi, isolasi sosial, kecemasan, hingga lebih rentan terjebak dalam hubungan yang toxic.
Sebuah tinjauan tahun 2020 menunjukkan bahwa anak yang menjadi kambing hitam sering memiliki identitas yang rapuh dan kesulitan mengatur emosi.
3. Parentifikasi atau pertukaran peran
Parentifikasi terjadi ketika anak harus mengambil peran orang dewasa, mengurus adik, memikul tanggung jawab rumah, bahkan menjadi tempat curhat orangtua.
Ini adalah bentuk dinamika keluarga toxic yang sering tidak disadari karena terlihat seperti “anak pintar” atau “anak berbakti”.
“Parentifikasi membuat anak memprioritaskan kebutuhan keluarga di atas kebutuhan dirinya sendiri,” terang Kotkin-De Carvalho.
Penelitian tahun 2021 menunjukkan bahwa parentifikasi meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan prestasi sekolah yang menurun.
Dalam jangka panjang, anak yang mengalami parentifikasi cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang terus merasa bertanggung jawab secara emosional terhadap banyak orang.
4. Cinta dan kasih sayang yang bersyarat
Dalam keluarga Toxic, cinta sering dijadikan alat manipulasi. Konselor kesehatan mental, GinaMarie Guarino mengatakan, kasih sayang keluarga seharusnya diberikan secara tulus dan tanpa syarat.
“Ketika seseorang hanya menunjukkan kasih sayang jika kamu memenuhi keinginan mereka, itu adalah bentuk manipulasi,” jelasnya.
Misalnya, orangtua hanya memberi perhatian ketika anak berprestasi atau saudara kandung hanya menghargai kamu ketika mereka butuh bantuan. Akibatnya, kamu merasa harus menghasilkan cinta dengan mengorbankan kebutuhan diri.
Dinamika ini membuat individu cenderung menghindari konflik dan sulit mengambil keputusan untuk dirinya sendiri karena takut ditolak keluarga.
5. Komunikasi tidak langsung
Komunikasi yang tidak dilakukan secara jujur, misalnya lewat gosip, sindiran, atau pihak ketiga, juga merupakan ciri keluarga toxic.
Neupert menegaskan, pola komunikasi ini menciptakan kesalahpahaman berkepanjangan.
“Keluarga yang bergantung pada komunikasi tidak langsung akan kehilangan kepercayaan satu sama lain dan memperbesar konflik,” katanya.
Tanpa pembicaraan langsung, masalah kecil menjadi besar dan hubungan semakin menjauh.
6. Pelanggaran batas secara terus-menerus
Tidak menghargai batasan pribadi, seperti privasi, ruang, atau waktu, adalah tanda kuat bahwa keluarga kamu termasuk toxic.
Menurut Angela Sitka, terapis keluarga berlisensi, setiap anggota dalam keluarga memiliki batasan pribadi yang harus dihargai satu sama lain.
“Ketika batasan sudah disampaikan jelas namun tetap dilanggar, pesan yang dikirimkan adalah kebutuhan kamu tidak penting,” tegas dia.
Contohnya termasuk membuka pesan pribadi, datang tanpa pemberitahuan, atau meminimalkan perasaan kamu saat keberatan.
Jika terjadi terus-menerus, kamu mungkin merasa tidak punya hak untuk mengekspresikan diri, hingga akhirnya memendam rasa kesal dan frustasi.
Mengenali tanda-tanda keluarga toxic bukan berarti menyalahkan keluarga secara sepihak, tetapi memahami pola yang tidak sehat agar kamu dapat melindungi diri secara emosional.
Mulai dari menetapkan batasan, membangun jaringan dukungan, hingga mencari bantuan profesional dapat membantu memutus siklus ini.
Apabila kamu pernah mengalami beberapa pola di atas, kamu tidak sendirian. Banyak orang tumbuh dalam dinamika serupa tanpa disadari.
Namun, hal yang terpenting adalah bagaimana kamu mengambil langkah untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat, baik dengan keluarga maupun diri sendiri.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/12/04/183500420/ciri-ciri-keluarga-toxic-yang-bisa-memengaruhi-kesehatan-mental