KOMPAS.com - Wastra Batak, khususnya ulos, selama ini dikenal sebagai bagian penting dari tradisi dan adat. Hal ini membuat ulos dianggap harus mengikuti pakem yang ketat sehingga membatasi generasi muda untuk memggunakannya.
Menurut CEO Tobatenun, Kerri Na Basaria Pandjaitan, pelestarian wastra juga memerlukan ruang untuk beradaptasi agar tetap dapat diterima generasi muda.
Ia menilai bahwa membuka ruang inovasi dengan tepat tidak mengurangi nilai tradisi, tetapi justru menambah cara masyarakat untuk bisa lebih berhubungan dengan tradisi itu sendiri, termasuk ulos.
Tradisi dihormati, tetapi tetap bisa berkembang
Dalam konteks pelestarian wastra Nusantara, Kerri menekankan bahwa tradisi pun memiliki perjalanan panjang yang tidak lepas dari perubahan.
“Filosofi kita di Tobatenun itu, budaya tuh enggak stagnan. Banyak orang bicara pelestarian budaya sebagai sesuatu yang rigid, harus benar-benar pakem. Saya apresiasi itu memang benar, tapi budaya itu juga lahir karena dia banyak akulturasi, banyak inspirasi dari budaya-budaya lain,” kata Kerri dalam acara MAULIATE di Sopo Del Tower, Jakarta Selatan, Kamis (4/12/2025).
Ia menambahkan bahwa sejarah budaya Batak, seperti budaya lain di Nusantara, terbentuk melalui berbagai perjumpaan dan pengaruh yang hadir dari waktu ke waktu.
Oleh sebab itu, bagi Kerri, membuka ruang untuk perkembangan adalah hal yang wajar dalam konteks pelestarian hari ini.
“Jadi, menurut saya sih enggak ada salahnya budaya tersebut terus berkembang, terus ada inovasi, terus ada inspirasi,” ungkap Kerri.
Inovasi sebagai jalan masuk bagi generasi muda
Menurut Kerri, tantangan pelestarian saat ini tidak hanya soal menjaga keberlanjutan tradisi, tetapi juga bagaimana membuat wastra bisa dipakai tanpa rasa segan.
Dari pengalamannya, ia banyak menemukan anak muda yang ingin menggunakan ulos, tetapi tidak yakin dengan cara memadukannya atau takut ditafsirkan salah dalam konteks adat.
Maka dari itu, Kerri bersama Tobatenun mengambil dua pendekatan sekaligus, yakni mempertahankan karya tradisional dan menghadirkan karya kontemporer.
Dua jalur ini bukan untuk menggantikan satu sama lain, tetapi untuk memenuhi kebutuhan audiens yang berbeda.
“Makanya tenun-tenun kami pun yang tradisional ada, tapi yang kreasi dan lebih kontemporer pun ada. Karena menurut saya itu entry level sih buat orang,” jelas Kerri.
“Banyak orang yang segan memakai wastra karena terlihat kuno atau tua,” sambungnya.
Menurut Kerri, justru karena alasan itulah inovasi dibutuhkan, agar seseorang yang ingin mengenakan ulos bisa merasa lebih percaya diri tanpa harus merasa takut pada aturan seremonial.
Ia menilai teknik tenun Batak memiliki kekayaan yang tidak bisa dianggap remeh. Begitu pula dengan ragam motif yang telah diwariskan selama ratusan tahun.
“Karena sebenarnya sayang banget, karena teknik tenun tuh something yang unik banget. Dan juga apalagi motif-motif yang kaya dan udah beratus-ratus tahun ada tuh sayang banget kalau punah,” ungkap Kerri.
Namun agar warisan itu tetap melekat pada berbagai generasi, ia percaya pelestarian dengan memadukan inovasi perlu dilakukan.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/12/05/191000020/menjaga-tradisi-membuka-inovasi--cara-ulos-dekat-dengan-generasi-muda