Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Singosari dan Majapahit Memilih Biting?

Kompas.com - 20/09/2011, 13:22 WIB

Oleh: Anwar Hudijono

    Cakrawala Manggala Jawa, Amukti Palapa, dan Cakrawala Manggala Nusantara—tiga doktrin ”persatuan nasional” Pulau Jawa—rupanya sudah bertunas pada awal abad XVIII, zaman Kerajaan Singasari.

    Di kawasan sekitar bukit kecil tumpukan batu bata dan sisa-sisa patirtan itulah ide Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit ”Raya” dan bersatu terus-menerus berkobar dari abad XIII hingga XVII.

    Inilah tumpukan narasi purba dari Dusun Biting, Desa Kutorenan, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Puing-puing bata itu bertumpuk di seputar lubang berdinding bata berbentuk segi empat sama sisi berukuran sekitar 4 meter x 4 meter.

   Gundukan yang kini menjadi kebun itu diduga bekas bangunan pos suatu benteng pertahanan. Bangunan itu bagian dari pagar tembok sepanjang ratusan meter yang terletak di tepi Sungai Bondoyudo.

   Goman (64), wakil juru kunci situs Biting, bercerita, tahun 1960-an, ia masih melihat bangunan sisa-sisa pagar tembok tersebut. Dan, di jarak sekitar 1.500 meter dari puing bata tersebut terdapat bekas bangunan patirtan, tempat mandi dan menyucikan diri. Bangunan kedua itu kini tertutup tanah. Tinggal sumber airnya yang masih sering dimanfaatkan masyarakat Bali untuk ritual keagamaan karena dipandang sebagai air suci.

   Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Surabaya Aminuddin Kasdi mengatakan, situs Biting merupakan sisa peninggalan Kerajaan Lamajang. Biting, kata bahasa Jawa yang berarti benteng.

   Hal senada disampaikan antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono. Menurut dia, gundukan itu bagian dari basilikon atau kalau di Keraton Yogyakarta disebut pangingukan (tempat pengintaian). ”Situs Biting merupakan benteng lintas massa dari abad XIII hingga abad XVII,” kata Dwi.

   Situs benteng adalah situs langka. Selain Biting, hanya situs Kotobedah di pinggir Sungai Amrong di Kota Malang yang juga dianggap benteng.

   Saat Kerajaan Singasari diperintah Raja Wisnu Wardana pada abad XIII, dalam kerangka doktrin politik Cakrawala Manggala Jawa atau kesatuan Pulau Jawa itulah raja mengangkat delapan narariya atau raja bawahan. Salah satu di antaranya, sebagaimana disebut dalam Prasasti Mula Malurung (tahun 1255), adalah Narariya Kirana di Lamajang.

   Secara geografis, kawasan Biting datar sehingga lebih mudah membangun infrastruktur kota. Wilayah itu juga relatif aman dari jangkauan letusan Gunung Semeru dan Gunung Lamongan di Lumajang.

   Wilayah itu dikelilingi Sungai Bondoyudo di sisi utara, Sungai Winong (timur), Sungai Cangkring (selatan), dan Ploso (barat). Sungai sebagai benteng alami jelas temuan yang cerdik.

   Keberadaan Kerajaan Lamajang juga disebut dalam Prasasti Kudadu (1294), berisi perjanjian Raden Wijaya dengan Narariya Madura Adipati Wiraraja alias Banyak Wide. Wiraraja bahkan bersedia membantu Wijaya menghancurkan Jayakatwang dari Kerajaan Gelang-gelang (Kediri) dan tentara Tartar.

   Wijaya menang dan mendirikan Kerajaan Majapahit dengan pusatnya di Mojokerto. Arya Wiraraja mendapat hadiah di wilayah timur, di Lamajang.

   Wijaya meninggal dan digantikan Jayanegara, lantas dilanjutkan Tribuwana Tunggadewi. Pada masa dua raja ini, stabilitas Majapahit terkoyak. Terjadi pemberontakan raja-raja kecil, termasuk Lamajang yang dikenal dengan Perang Paregrek.

   Peristiwa safari Raja Hayam Wuruk, pengganti Tribuwana Tunggadewi, ke pelbagai daerah, seperti Krepa (Panarukan), Puger (Jember), Balitar (Blitar), dan Lamajang sebagaimana tercatat dalam kitab Negarakertagama, menurut Dwi, salah satu tujuannya adalah melakukan reintegrasi dalam kerangka doktrin politik: Amukti Palapa. Suatu doktrin yang berbenang merah dengan Cakrawala Manggala Jawa, lalu disambung Raja Kartanegara dari Singasari dengan Cakrawala Manggala Nusantara.

   Kerajaan Lamajang masih menjadi salah satu pusat pemerintahan penting sampai abad XVII. ”Lamajang menjadi wilayah yang diperebutkan Mataram dengan Bali,” kata Aminuddin. HJ De Fraaf dalam buku Puncak Kekuasaan Mataram mencatat perang Mataram versus Bali terjadi sekitar tahun 1635.

   Masyarakat Biting punya versi sendiri tentang situs tersebut. Situs itu dianggap peninggalan Kerajaan Lamajang dengan rajanya, Prabu Menak Koncar. Ada yang mengatakan nama Menak Koncar ini adalah Nambi, anak Arya Wiraraja. Namun, dalam Negarakertagama atau Serat Ronggolawe disebutkan, Nambi adalah menteri pada zaman Majapahit.

   Menak Koncar, yang memiliki guru Sayid Abdurrahman, dikuburkan di kompleks pekuburan di Biting bersama Arya Wiraraja, Ratu Majapahit Kencono Wungu, beserta menterinya, Patih Lugender, dan Damarwulan, duta Majapahit untuk mengalahkan pemberontak Adipati Menakjinggo dari Blambangan.

   Bentuk kuburan mereka layaknya kubur seorang Muslim yang dikelilingi bata kuno, sebagaimana pos pangingukan.

   Masih sebatas cerita tutur, nama Menak Koncar itu berkembang di Melayu dengan nama Hikayat Amir Hamzah.

   Bisa dipastikan, munculnya tokoh fiksi Menak Koncar adalah karena pengaruh Islam. ”Artinya, telah terjadi diakronis sejarah situs Biting,” kata Dwi. Bangunan pamuksan (tempat muksanya) Prabu Jayabaya pun dibangun di Pagu, Kediri.

   Diakronis seperti itu ada ”hikmahnya”. Masyarakat lantas merasa jadi bagian dari sejarah lokal tersebut karena sebagian tokoh ”legenda” itu adalah tokoh Muslim.

   Tanpa pemahaman seperti itu, situs khazanah lintas masa ini mungkin sudah lenyap ditelan bumi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com