Tahun 2007 saya pulang ke Indonesia, setelah 10 tahun tinggal di Jepang. Waktu itu anak saya dua. Anak pertama saya usia 5 tahun, sempat menikmati TK di Jepang. Adiknya baru 2 tahun. Anak pertama saya masukkan ke TK Islam di dekat rumah.
Ada perdebatan kecil dengan pengelola TK saat saya daftarkan anak saya. “Anak Bapak sudah tertinggal jauh dari teman-temannya,” kata guru TK.
“Tertinggal apa?”
“Pelajaran, Pak. Hafalan doa dan surat pendek. Sulit dia mengejar ketertinggalan.”
“Oh, biar saja. Tidak masalah. Anak saya tidak hafal pun tidak masalah.”
“Nanti rapornya jelek, Pak.”
“Tidak apa-apa, Bu. Anak saya tidak diberi rapor juga tidak masalah. Saya tidak butuh rapor. Yang penting dia bisa berteman dan bermain.”
Akhirnya anak saya masuk. Kami tidak pernah meributkan soal hafalan dan rapornya. Selesai TK, dia masuk SD, sekarang sudah kelas 1 SMA.
Anak kedua kami masuk TK umum 3 tahun berikutnya. Kali ini tuntutan guru bukan soal hafalan, tapi soal pelajaran dan PR. “Kemajuan pelajaran anak Bapak lambat,” kata gurunya lapor.
“Pelajaran apa sih? Kan masih TK.”
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.