Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pola Asuh: Keterampilan, Komitmen, dan Jadi “Kulino”

Kompas.com - 20/05/2019, 08:05 WIB
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Dalam praktik sehari-hari, saya membiasakan pasien membuat jurnal yang cukup komplit : bukan sebatas apa yang dimakan sejak pagi hingga tidur, tapi juga catatan seputar kehidupan yang bisa jadi dianggap remeh tapi penting nantinya sebagai kontributor mereka jadi lebih sehat atau lebih sakit.
 
Di minggu pertama, ada yang merasa ini semua beban bahkan menambah ‘pekerjaan rumah’, tulis-menulis yang terasa ‘rese’.
 
Di minggu kedua, biasanya sebagian besar orang mulai bisa melihat manfaatnya. Di minggu ketiga, kebanyakan berkomentar, “Wah, enggak nyangka, perjalanannya jadi berdampak ke segala bidang kehidupan saya” – tapi yang menarik, lepas satu bulan, justru sebagian orang merasa ‘sudah paham’ dan berhenti mengisi jurnalnya.
 
Saya menyebut kebiasaan di atas sebetulnya pembelajaran refleksi tentang pola asuh diri. Tidak semua orang bisa langsung ‘nangkap’ maksud sesungguhnya.
 
Bahkan pasien lawas yang sudah kenal saya sejak tahunan yang lalu, masih mengandaikan jurnal yang dibuatnya hanya untuk ‘mengecek’ makanan sehari-hari: ngawur atau masih on track.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat
 
Celakanya, ada yang menganggap itu ‘laporan makan’ saat menghadap dokternya. Saya ngakak. Barangkali itu sebabnya di luar sana orang-orang yang tidak kenal saya, tapi hanya ‘mendengar cerita’ punya persepsi subjektif tentang saya.
 
Merujuk pada etika emansipatoris Habermas (1929), teori filsafat kritisnya yang disebut “Tindakan Komunikatif” membuat manusia terbebas dari belenggu ‘perbudakan’ (yang bisa diartikan pada masa sekarang sebagai tuntutan kepatuhan) dengan memulihkan kedudukan manusia sebagai subjek yang mengelola sendiri kenyataan sosialnya.
 
Rumpun ilmu kesehatan, salah satunya kedokteran – yang miskin pemahaman tentang perilaku dan pola asuh diri – akhirnya membuat pasien diam-diam terbelenggu dengan mahzab berobat, ketimbang menjadi individu proaktif yang mampu berpikir secara nalar, minimal memahami hubungan antara tindakannya sendiri (termasuk pilihan gaya hidup) dengan penyakit yang ‘diciptakannya’.
 
Amat mengenaskan, bilamana perjalanan abad pencerahan manusia tumbuh dalam konstelasi ilmu filsafat sebagai induk keilmuan, justru menemui kebuntuan saat disiplin ilmu aplikatif seperti kesehatan yang semestinya menjadi perpanjangan tangan dari pemikiran filsuf yang terbiasa menggunakan bahasa njlimet.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan
 
Habermas menandaskan, pemahaman praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan tindakan komunikatif, justru akan berbuah pencerahan dan saling keterbukaan dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan.
 
Kita bisa menjadi saksi sejarah, betapa kekuasaan pemilik modal dan industri semakin tanpa batas, bahkan mengatur penguasa kebijakan – minimal membuat mereka berada dalam posisi ‘serba salah’.
 
Begitu sulitnya menempatkan kembali para pelaku bisnis produsen pangan jadi ke koridornya masing-masing. Mulai dari pembuat susu formula hingga jajanan kemasan yang anehnya merasa tersinggung bila dilarang beriklan di sekolah dan posyandu.
 
Ada seorang teman yang selalu mengeluh pada saya, tentang program pengentasan gizi buruk yang selalu ‘mentok’ di masalah perilaku.
 
Dana yang digelontorkan tidak sedikit. Bahkan video khusus tentang pembuatan makanan bayi sudah disebar ke banyak kabupaten. Ibu-ibu jika ditanya soal gizi seimbang sekarang sudah pintar-pintar jawabnya. Tapi tetap sebatas ‘tahu’ saja.

Baca juga: MPASI Rumahan Tidak Sama dengan MPASI Murahan


 
Praktiknya, mereka bilang si ayah susah disuruh berhenti merokok dan anaknya tidak mau makan kalau bukan menunya ayam goreng.
 
Pun si remaja marah jika tidak diberi uang jajan untuk beli berbagai minuman kekinian, yang promosinya nyelonong masuk aplikasi ponsel tanpa permisi.
 
Bahkan di pelosok, saat relawan berpeluh-peluh bicara perlunya makan sayur dan buah tiga kali sehari, tukang es keliling dengan merek ternama berisik dengan klaksonnya yang membuyarkan konsentrasi.
 
Kembali merujuk pada pemikiran filsuf, Paulo Freire (1921) yang lebih tua sedikit dari Habermas adalah seorang pendidik juga yang lahir di Brasil – bekerja untuk orang-orang buta huruf di negrinya, ia dikenal dengan Teologi Pembebasan.
 
Saat itu hanya penduduk yang melek huruf yang bisa ikut pemilu. Ia menyebut ‘situasi penindasan’ dimana mayoritas adalah kelompok tertindas, sedangkan minoritas sebagai penindas.
 
Golongan tertindas dibuat tidak berdaya karena ketidaktahuan, dibiarkan menjadi objek, bukan subjek.

Baca juga: “Germas” Masih Tahap Marketing: Menanti Disrupsi Terjadi
 
Yang anehnya, bagi publik yang sungguh-sungguh tidak berdaya malah ‘menikmati’ ketidakberdayaannya, bahkan menjadikan hal tersebut sebagai ketergantungan.
 
Di zaman sekarang: mulai dari tergantung dengan obat hingga bumbu masak instant atau lebih parah lagi, makanan bayi kemasan.
 
Menjadi ironis jika pencerahan dan pembebasan tidak selamanya diterima dengan lapang dada. Malah dianggap merepotkan dan sebagian orang justru merasa hilang kebebasan ‘untuk makan semaunya’.
 
Ibu-ibu sudah merasa pede dengan susu formula dan makanan kemasan untuk bayinya, karena dengan demikian mereka bisa bebas bekerja dan tanpa perlu repot memerah ASI juga.
 
Akhirnya, orang-orang yang sudah terlanjur melihat hidup sebatas permukaan (apabila tidak mau dibilang cetek) akan sesak nafas jika disuruh menyelam lebih dalam lagi.
 
Kondisi sakit, kabar baiknya mampu membuat manusia berserah diri. Bahkan, bisa menjadi titik balik perjalanan humanisasi dari kondisi dehumanisasi.

Orang-orang yang lebih teredukasi dan melek literasi akhirnya bisa memahami jurnal kesehatannya sebagai pembelajaran. Bahkan pembelajaran berkelanjutan sebagai pola asuh diri, yang nilai komitmennya sudah menjadi ‘kulino’ – sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan terinternalisasi.

Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama
 
Nilai kepakaran, mastery, tidak mungkin datang hanya dari intelegensia – yang hanya mengandalkan kemampuan otak berpikir dan mengingat serta mencari ‘breakthrough’ alias terobosan yang out of the box.
 
Ujung-ujungnya, geger sesaat – lalu padam. Pakar mengelola pola makan hingga gaya hidup datangnya dari perjalanan kematangan dan kedewasaan dan mampu ‘menyelam lebih dalam’.
 
Sebagai analogi komitmen membuat jurnal, saya kerap membagikan pengalaman soal mencatat pengeluaran.
 
Tiga puluh tahun saya punya karier dan bekerja. Saya terbiasa mencatat semua uang masuk dan keluar dengan amat detil. Secara manual.
 
Sepuluh tahun pertama, catatan itu berbicara soal neraca apakah saya boros atau hemat. Sepuluh tahun kedua, catatan yang sama dianalisa dengan aspek yang berbeda: pengeluaran saya lebih banyak untuk konsumsi, rekreasi, atau bayar kredit?
 
Sepuluh tahun ketiga, sekali lagi catatan yang terus dibuat itu memberi narasi tentang hal yang lain lagi: apa yang sudah saya siapkan untuk pensiun? Seberapa jauh lagi jarak saya menjadi seorang filantropis?
 
Semoga generasi yang sedang muncul di masa sekarang ini, yang sudah terlanjur dikenal sebagai generasi ‘serba cepat yang penting hebat’ – mau sedikit melihat kedalaman hidup yang dimulai dari cara mengasuh diri dahulu.
 
Mengasah keterampilan yang penjalanannya cukup panjang untuk jadi ‘kulino’, dengan kesabaran – yang dijamin berbuah kepakaran.

Baca juga: Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com