Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Teknologi: Kemajuan, Kebutuhan, Ketergantungan atau Versi Baru Penjajahan?

Kompas.com - 11/08/2019, 10:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Begitu pula ada pasangan muda yang biasanya sibuk dengan ponsel dan laptop masing-masing sebelum tidur, akhirnya bisa mengobrol lebih mendalam tentang sisi kehidupan dan rencana ke depan.

Ventilasi rumah dirasa berharga, saat mesin pendingin bernama AC tinggal seonggok besi tanpa fungsi.

Baca juga: Pola Asuh: Keterampilan, Komitmen, dan Jadi “Kulino”

Rumah-rumah indah berperabot mewah tanpa jendela yang penempatannya diatur untuk sirkulasi udara yang benar, akhirnya cuma seperti sel mahal penuh penderitaan.

Itu yang membedakan arsitek dengan desainer interior – yang masing-masing punya sisi kepakaran khusus.

Runtuhnya keperkasaan teknologi listrik membuat kita perlu berkaca, untuk bisa sekali lagi memahami hidup: mana yang bisa dibuat mudah dan praktis dan mana yang memang harus dipertahakan – bukan karena menyenangi keribetan – tapi memang itulah yang membuat kita manusia. Sebutlah tentang keterampilan, dexterity. Kecakapan.

Di balik hal-hal yang semestinya dipelihara itu justru terletak supremasi kemanusiaan, yang membedakan kita dari makhluk hidup lain dan juga beda dengan robot.

Orang-orang yang hidupnya sudah terprogram dengan kemudahan, prosedur operasional standar, akhirnya terjebak menjadi robot hidup.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Saat ini, anak-anak merasa nyaman menggunakan layar sentuh, keyboards – hasil evolusi menulis huruf sambung dan huruf cetak, begitu pula kita menikmati kepraktisan mengikat sepatu dengan lapisan rekat ulang bernama velcro – ketimbang menggunakan tali sungguhan untuk dijalin dan diikat.

Hidup yang mempunyai makna cetek alias superfisial, tentu akan melihat tulisan sebatas fungsi rapih dan mengenakan sepatu sebatas kecepatan proses bersepatu.

Padahal menulis dengan tangan, apalagi huruf sambung – membuat gerak kinestetik khas yang melibatkan stimulasi otak – yang akan terintegrasi dengan berbagai area belajar dan bekerja serta kecerdasan. Begitu pula dengan menali sepatu.

Kebablasan teknologi yang diindentikkan dengan era kemajuan, jika tidak diimbangi dengan pembangunan Sumber Daya Manusia yang sesungguhnya, membuat kita menciptakan robot-robot baru yang tergantung dan menjadikan teknologi sebagai kebutuhan primer.

Jangan kaget jika pernikahan suatu hari nanti hanya dilihat sebagai konotasi tradisi dan religi.

Untuk punya keturunan, orang yang menikah pun akhirnya menggantungkan diri pada teknologi: akibat salah di gaya hidup dan punya masalah reproduksi. Bukan gaya hidupnya yang dibereskan.

Baca juga: Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Begitu pula janji industri yang penuh promosi menjadi juru selamat pangan di hari depan – yang membuat ibu-ibu tidak lagi perlu hitung kalori.

Bahkan, siap konsumsi tanpa ketakutan risiko kontaminasi – jika ditelan bulat-bulat sebagai kemajuan teknologi, maka kita semua akan berubah menjadi robot dan kaum terjajah teknologi industri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com