KOMPAS.com - Padamnya Jakarta dan sekitarnya dari aliran listrik selama lebih dari enam jam beberapa waktu lalu, menampilkan wajah masyarakat dari sudut pandang yang jauh berbeda, dibanding saat hidup tertopang teknologi gemerlap, berpendar tanpa lelap.
Barangkali itu saat manusia dihentak untuk kembali melihat apa yang sungguh-sungguh dimilikinya dan kemampuan survival hakiki tanpa dongkrak teknologi.
Dipaksa mengaca, bahkan merefleksi diri di tengah gelap, untuk bisa menghargai terang dan matahari, memberi jarak dengan kebisingan yang memberi suara karena digunakan sebagai sarana, mulai dari radio dan televisi yang biasanya terus menyala.
Antara miris dan rasa ingin tertawa, saya membaca riuhnya keluhan generasi yang tidak paham menanak nasi ‘versi manual’.
Begitu pula tak habis rasa heran saya saat mendengar kabar artis dan orang-orang berduit pindah ramai-ramai ke hotel.
Baca juga: Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi
Demi udara dingin, nyala lampu, dan colok listrik untuk membuat semua perangkat digital mereka tetap hidup.
Bisa terbayang berapa uang terbuang untuk mempertahankan ‘kenyamanan’ model itu.
Di sisi lain, dalam kolom komentar berita hedonisme sekejap itu, muncul keresahan kelompok yang menamakan diri ‘missqueen’ (dilafalkan ‘miskin’) dan cukup bergantung dengan kipas angin mini di depan wajah yang mengandalkan daya baterai.
Ingatan saya kembali melayang ke zaman saat saya getol mengikuti berita seputar kerajaan Inggris yang saat itu diramaikan kisah-kasih romansa putri Diana.
Yang saya amati justru kehidupan sang ratu Inggris Raya. Betapa menakjubkan biaya yang dikeluarkan kerajaan demi layanan super premium yang melibatkan penata rambut, asisten pribadi, juru masak hingga pembantu khusus yang memilihkan baju, sepatu, hingga pakaian dalam sang ratu.
Disebutkan bahwa ratu akan mati kutu jika semua layanan itu tiba-tiba berhenti. Dalam hati saya, akankah dia menangis melihat isi lemari dan bingung mau pakai baju apa dan bagaimana cara mengancingkan bajunya?
Baca juga: Membiasakan yang Tidak Biasa
Yang saya ingin diskusikan sebenarnya adalah tentang ketergantungan dan pemberdayaan. Dua kata yang mempunyai makna sama sekali bertolak belakang.
“Menikmati hidup” kebablasan yang menciptakan kemalasan sungguh-sungguh mematikan survival mode manusia.
Saat semuanya ambruk bagai efek domino, hanya manusia-manusia yang masih sadar memberikan makna dalam kehidupannyalah yang akan bertahan – bahkan menemukan kebahagiaan sejatinya.
Dari beberapa ‘kisah inspiratif’ saat mati listrik itu, ada ibu milenial yang akhirnya belajar menanak nasi dengan cara meliwet. Dan hasilnya ternyata lebih enak, bahkan bisa diperkaya dengan memasukkan teri, bawang, petai, hingga irisan daun jeruk.