Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Makanan Peranakan: Tradisi, Esensi atau Gengsi?

Kompas.com - 24/01/2020, 19:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Beberapa tahun terakhir ini, paling tidak sekali dalam sebulan saya punya rutinitas mengunjungi fresh market Pantai Indak Kapuk, yang pernah disebut salah satu anggota DPRD sebagai contoh pasar ideal.

Entah mengapa lebih memilih menggunakan bahasa asing, ketimbang memberi istilah ‘pasar moderen’ – karena sebetulnya tempat itu adalah pasar dengan pedagang lokal seperti biasanya.

Tetapi, punya tiga lantai plus tambahan di bawah lantai dasar untuk area daging dan ikan.

Mungkin nilai tambah uniknya karena pasar ini punya lift sekaligus eskalator. Boleh dibilang lebih bersih juga ketimbang ‘pasar becek’ dalam gedung pada umumnya.

Baca juga: Mengajar Tanpa Mendidik: Punya Ilmu Tanpa Rasa Malu

Sebelum pedagang sayur di tempat lain menggunakan cara bayar digital kekinian, mungkin pasar ini satu-satunya tempat di mana pedagang menerima pembayaran kartu debit – hebatnya mereka punya mesin edisi bank terkenal.

Hanya satu yang masih belum hilang dari ciri pasar Indonesia: bau rokok.

Saya pernah menegur penjual sayur yang dagangannya banyak diberi label organik, ”Bang, ngapain jual produk keren dan sehat kalau yang jualan masih merokok?” Alih-alih rokoknya dimatikan, dia hanya ketawa ngakak.

Menjelang perayaan Imlek, pasar ini semakin semringah. Bukan hanya pernak-pernik hari raya yang merah meriah itu saja, tapi begitu banyak jenis bahan makanan yang luar biasa kualitas hingga harganya bermunculan tiba-tiba.

Ya, seakan-akan panen raya penuh keberuntungan cuma muncul setahun sekali saat Imlek mau datang. Dan hanya dikhususkan bagi yang sanggup beli tentu saja.

Baca juga: Bumbu Baru Itu Bernama Penyedap dan Aneka Kecap

Sebut saja ikan bandeng super besar, segar-segar pula, berbagai jenis kerapu terbaik: mulai dari kerapu merah, kerapu bebek hingga kerapu tikus yang dibandrol seharga tiga-empat ratus ribu per ekor kurang dari sekilo.

Padahal, sehari-hari yang ada hanya kerapu macan atau kerapu lumpur ukuran kecil.

Bisa dibayangkan, dalam keadaan siap makan sebagai hidangan mewah di restoran per porsinya akan disulap jadi berapa Rupiah?

Dari semua konsep tradisi di dunia, kultur Tionghoa menyimpan segudang simbol dan makna serta rahasia dalam sajian makanan.

Sayangnya, pemahaman mendalam tentang ini semua tergilas oleh literasi sempit yang hanya berorientasi pada kemakmuran fisik bahkan pengertian klenik.

Perayaan imlek di meja makan akhirnya sebatas kemewahan hidangan, kemeriahan kumpul keluarga yang menekankan ungkapan-ungkapan murah rezeki, nama baik, dan keturunan bergelimang keberuntungan, harta serta aset.

Baca juga: Kesehatan atau Hiburan: Lebih Murah Mana?

 

Kisah-kisah plesetan tentang asal usul suatu hidangan, diceritakan dengan isi dan arti yang lebih mudah ditangkap dan lucu bagi yang tak mau berpikir ribet.

Seperti sajian wajib kue keranjang, yang disusun seperti pagoda, diandaikan sebagai peningkatan rezeki kehidupan manis yang kian menanjak.

Dipercayai juga sebagai hidangan untuk membuat senang para dewa, agar melaporkan hal-hal yang manis saja kepada raja Surga.

Padahal asal usul kue keranjang bisa dirunut hingga abad 7 sebelum Masehi. Saat Tiongkok terpecah menjadi banyak kerajaan kecil yang selalu terancam saling berperang untuk saling menguasai.

Baca juga: Ketika Tips Kesehatan Berujung Pembodohan

Di Tiongkok timur, Kerajaan dinasti Wu dengan ibukotanya Suzhou mempunyai seorang perdana menteri bijak bernama Wu Zixu.

Saat negri terancam dan rakyat khawatir pecah perang, sebelum ajal ia pernah berpesan,”Perang tidak boleh dianggap enteng, tembok yang kokoh benar merupakan pertahanan yang baik. Tapi bila musuh mengancam dan membuat rakyat menderita, tembok juga pertahanan bagi kita. Apabila situasi memburuk, jangan lupa bobok celah lubang di bawahnya,”.

Setelah Wu Zixu wafat, benar negri yang tengah berperang membuat rakyat kelaparan. Beberapa prajurit yang mengingat pesannya lalu sungguh-sungguh menggali dasar tembok pertahanan.

Mereka terkejut karena mendapati tembok pertahanan yang dimaksud Wu ternyata terbuat dari tumpukan tatanan ‘batu’ yang bisa dimakan: beras ketan manis berkeranjang-keranjang, yang rupanya diam-diam dikerjakan perdana menteri bijak saat kerajaan masih aman dan makmur.

Baca juga: Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri China

Memahami kisah di atas dan merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari, apalagi menjadi pemikiran bijak saat kita terpilih menjadi pemimpin pastinya lebih ‘bikin pusing kepala’, ketimbang menelan mentah-mentah kue keranjang sebagai simbol rezeki dan silahturahmi, karena lengket manis.

Begitu pula alasan mengapa hidangan ikan selalu muncul di masa Imlek. Hanya semata kata ‘ikan’ dan kata ‘lebih’ dilafalkan sama (sama-sama berbunyi ‘yu’), maka harapan agar kehidupan di masa datang dipenuhi dengan kelebihan rezeki, maka dijadikanlah ikan sebagai simbol.

Barangkali agak mirip seperti adat pernikahan Jawa, yang menggunakan daun kluwih dalam rangkaian tuwuhan saat pemasangan bleketepe berupa anyaman bambu.

Tuwuhan sebenarnya terdiri dari berbagai tumbuhan sarat simbolisme yang merupakan untaian doa agar pernikahan itu tumbuh, dan daun kluwih melambangkan hidup diberkahi rejeki berlebih yang bahasa Jawanya: kluwih.

Baca juga: Apa Benar Kanker Tidak Diketahui Penyebabnya?

Kembali menikmati keriuhan orang belanja di Fresh market, saya menyantap telur setengah matang versi kopi tiam dan popiah legendaris sebaagai menu sarapan, sambil mengamati kelompok orang-orang separuh baya yang rupanya rutin berolahraga ‘sepedaan’ dan jalan pagi di akhir minggu.

Dengan seragam kaos yang sama, nampak sekali keakraban mereka di tingkah seruputan kopi susu, kunyahan kuetiaw goreng dan renyahnya cakwe berminyak. Comfort food – makanan penenang jiwa - yang pantang dianalisa sisi sehatnya dimana.

Menjelang Imlek, semua orang berharap awal tahun yang dimulai dengan musim yang baru, diberi rezeki berlimpah turah, dan kesehatan prima bak muda lagi.

Tapi di sisi lain, saat keriaan diisi santapan tanpa perhitungan hanya obral kemewahan, membuat simbolisme bukan lagi diusung layaknya harapan doa.

Melainkan, direndahkan bagai seonggok sogokan bagi para dewa, sementara sabotase hidup sehat dihajar hedonisme sesat.

Baca juga: Kasihan, Orang Sakit Bebannya Selangit

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com