Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?

Kompas.com - 28/07/2020, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Saya sudah ‘mencium’ tanda-tanda ketidakberesan sejak beberapa tahun yang lalu, ketika diundang ke beberapa kegiatan mahasiswa peminatan gizi di berbagai kota.

Dikejar keharusan berinovasi, cara berpikir linier membuat anak-anak muda ini mentok dengan istilah kekinian dan paradigma teknokrat.

Lupa bahwa bahan baku sumber pangan dan target konsumennya berangkat dari paradigma kodrat.

Kodrat tubuh manusia membutuhkan pangan utuh, bukan produk proses apalagi rafinasi.

Baca juga: Sampai Kapan Manusia Bertahan Makan Seadanya?

Lebih jauh, banyak orang terperangah saat saya paparkan bahwa sama-sama bernama pisang, tapi sebuah pisang segar seberat 100 gram hanya mengandung 89 kilokalori, sementara dengan bobot yang sama keripik pisang justru menghasilkan 520 kilokalori.

Bayangkan jika pisang lalu dilumat, diproses lagi dengan imbuhan macam-macam sehingga menghasilkan bolu pisang yang lembut, lengket, dan manis.

Salah satu sumber menyebut 100 gram ‘banana cake’ mengandung 326 kilokalori – yang kelihatannya lebih sedikit dari keripik pisang, tapi secara kualitas bisa jadi lebih buruk lagi, sebab pisangnya saja dibutuhkan lebih sedikit ketimbang imbuhannya, tepung dan gula sebagai produk rafinasi, belum lagi mentega berlemak jenuh.

Mengganti konsumsi pisang segar dengan bolu pisang membuat pasien pun cepat tumbang.

Mengejar konsumsi produk lokal, menggerakkan kearifan pangan lokal, tidak cukup hanya sekadar me-lokal-kan sumber bahannya.

Begitu kita kehilangan makna konsumsi pangan sehat, maka tak ubahnya mendorong rakyat menghasilkan dan membeli produk ultra proses yang justru kontra-produktif.

Sama konyolnya seperti mengajak anak-anak mencintai dan menyukai buah, tapi agar mereka tertarik dan ‘disesuaikan’ dengan selera, maka potongan buah itu dicelup kedalam coklat cair manis. Habislah sudah.

Lebih parah lagi, begitu selimut coklatnya leleh habis terjilat, potongan buah di dalamnya dibuang – karena rasa buah aslinya muncul. Dan anak-anak tersebut tidak terbiasa dengan yang asli.

Baca juga: Demi Kesehatan, Tingkatkan Kupasan dan Tinggalkan Kemasan

 

Mungkin negri kita sudah terlalu lama terlena dengan ‘edukasi berat sebelah’, yang diserahkan mentah-mentah ke pengusaha dan industri, sehingga untuk mengembalikan peran ke porsinya masing-masing menjadi sulit dan cenderung menimbulkan konflik kepentingan.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menegur keras dan mengajukan keberatan secara pribadi kepada produsen minuman yang begitu gegabah menampilkan iklan produk di televisi.

Bayangkan dampaknya jika anak-anak meniru kelakuan para bocah bermuka cemberut saat disajikan sayur dan buah, tapi mendadak riang ketika produk kemasan muncul dan mereka tinggal tenggak dan sedot!

Komisi Penyiaran Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen, apalagi Kementerian-kementerian terkait diam seribu bahasa.

Peraturan Pemerintah tentang Label Iklan Pangan yang ‘terbaru’ berasal dari tahun 1999, 21 tahun yang lalu, saat industri dan pengusaha belum merambah dunia maya dan pekerjaan “endorser atau influencer” belum dikenal. Kecuali bintang iklan yang kita tahu wajahnya itu itu lagi.

Baca juga: Makanan Peranakan: Tradisi, Esensi atau Gengsi?

Banyak kelemahan yang sudah waktunya dibenahi dari peraturan lawas yang sudah tidak sesuai jaman lagi.

Melarang bintang iklan balita misalnya, kecuali jika produk tersebut diperuntukkan untuk golongan usia balita.

Ini menjadi peluang emas bagi industri produk pangan dan minuman kemasan yang konsumennya bayi dan balita, walaupun bukan dalam bentuk pengganti ASI.

Sebaliknya, kalimat yang sama mengandung tanda tanya, mengingat balita adalah usia emas anak belajar tentang makan dan makanan, yang apabila orangtua salah paham, maka ibarat salah menentukan pilihan, penyesalannya sepanjang jalan.

Dua puluh satu tahun yang lalu, kita belum mengenal istilah promosi silang, yang dipakai sebagai strategi pemasaran produk yang berkaitan dengan ibu hamil, menyusui hingga anaknya yang sedang tumbuh kembang.

Salah satu hasil studi yang dimuat dalam The American Journal of Public Health 10 tahun yang lalu, berjudul “Television Food Advertising to Children: A Global Perspective” oleh Bridget Kelly dan kawan-kawan menunjukkan, anak-anak kita terpapar 20 iklan pangan saat mereka menonton acara anak-anak per jam-nya.

Baca juga: Bumbu Baru Itu Bernama Penyedap dan Aneka Kecap

Sedangkan, Korea Selatan hanya mengizinkan 5 iklan per jam tayang dan televisi RRT menayangkan paling banyak 8 iklan per jam tayang acara untuk anak-anak. Itu studi 1 dekade yang lalu. Sekarang?

Betapa ngeri membayangkannya. Iklan adalah bagian dari hipnosis terselubung, yang muncul di saat otak bekerja pada gelombang yang amat mudah dipengaruhi.

Bahkan lagu pendek berupa ‘jinggle’ begitu mudahnya menancap secara otomatis. Sehingga, anak-anak bisa menirukannya, mengulanginya tanpa sadar saat mereka sedang gembira atau sekadar bersiul saat mandi.

Lugunya publik Indonesia, membuat peluang besar bagi siapa pun yang ingin membangun investasi dan usaha di bidang makanan dan minuman.

Apalagi dengan menyitir program pemerintah, yang kelihatannya seakan-akan memberi dukungan penuh – faktanya berakhir kontra produktif.

Menyehatkan bangsa, meningkatkan status gizi anak-anak kita tidak boleh meninggalkan ‘aturan kehidupan’.

Fitrah dan kodratnya sumber pangan harus sebisa mungkin dikonsumsi dengan cara-cara wajar atau diproses seminimal mungkin dalam bentuk pengolahan rumah tangga, sudah menjadi fokus perhatian para pakar dan akademisi di berbagai negara.

Pun penggunaan imbuhan pada makanan alias food additives, khususnya dalam pangan anak tumbuh kembang dikritisi keras sebagai sumber masalah adiksi, karena tujuannya memang untuk menciptakan kecanduan.

Olahan produk pangan tidak hanya dilakukan dalam skala industri raksasa. Pada level rumah tangga atau Usaha Mikro Kecil Menengah juga meniru proses produksi dan cara olah yang mirip.

Membuat produk konsumsi lebih tahan lama, diracik dengan rasa sensasional lebih dari biasa, hingga dikemas menarik mata.

Baca juga: Bhineka Literasi Nutrisi Jadi Ancaman Integrasi

 

Tidak banyak pakar dan akademisi yang berteriak tentang susutnya nilai gizi, begitu naiknya nilai ekonomi.

Jangan salah paham, saya bukan penentang industri produk pangan. Kita tidak boleh menafikan keberadaan dan kontribusi mereka dalam pembangunan.

Yang saya prihatinkan adalah literasi kebablasan. Di negara-negara yang lebih maju dan kesadaran gizi sudah mumpuni, mulai sejak usia dini anak-anak telah terbiasa dengan pangan utuh yang cukup diolah di dapur keluarga.

Pun sekolah-sekolah mengajarkan bekal dan kantin sehat yang menyediakan makanan segar.

Betapa menyedihkannya jika anak-anak kita mendapat sumbangan roti yang terigunya saja impor, apalagi biskuit dengan pelbagai rasa sumbangan industri yang sarat gula.

Pun seandainya kita beralih ke sumber pangan lokal, akankah anak-anak kita sudi makan jagung dan ubi rebus, apabila orangtuanya berasumsi itu makanan kuli dan orang miskin?

Padahal, di salah satu gerai kopi internasional ternama di Seoul, masih menyajikan ubi dan jagung rebus di samping deretan croissant.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Membahas kebosanan dan cara olah yang itu-itu lagi, amatlah salah jika kita mengalihkannya dengan cara proses tingkat tinggi dan penambahan bahan yang justru merusak nilai gizi.

Barangkali, memang anak-anak perlu diajar tentang makna ‘bosan’. Sebab, mereka tidak bosan menonton video yang itu-itu lagi, mereka juga tidak bosan makan nasi putih yang sama. Mereka juga tidak boleh bosan belajar dan bikin pe-er bukan?

Bayangkan, jika alasan bosan itu terbawa hingga usia dewasa dan berkembang menjadi bosan dengan pekerjaan atau perkawinan.

Anak-anak ini perlu dididik makna kesederhanaan yang membawa kekayaan. Bahwa sayur bayam yang cukup disayur bening lebih kaya gizi ketimbang keripik bayam yang sudah miskin antioksidan, sekaligus tinggi minyak trans yang buruk bagi kesehatan.

Bahwa lalap sayur dengan sambal teman makan ikan, jauh lebih bergizi ketimbang sok-sokan mengunyah salad diguyur saus penuh emulsifier, racikan bumbu asing, dan tentunya rasa manis (yang membuat salad-nya bisa tertelan lidah melayu).

Kembali ke pangan lokal ibaratnya kembali pulang ‘ke rumah’. Di rumah, tak ada yang asing. Semua terasa hangat dan familier, bagaikan menemukan akar yang hilang.

Seperti nikmatnya gerontol jagung bertabur kelapa, atau sawut ubi jalar dengan irisan gula jawa.

Baca juga: Pre Order: Adopsi Istilah Ekonomi yang Bisa Menyehatkan Negeri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com