KOMPAS.com - Merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting balita di Indonesia adalah 30,8 persen.
Demikian juga hasil Survei Status Gizi Balita (SSGBI) 2019, menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia sebesar 27,67 persen. Angka ini memang turun 30,8 persen dari tahun sebelumnya.
Namun, angka tersebut masih terbilang tinggi, karena angka stunting berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 20 persen. Salah satu sebabnya adalah, masih minimnya pemahaman masyarakat tentang stunting.
Baca juga: Gagal Paham Soal Nutrisi Bisa Sebabkan Anak Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita, baik pertumbuhan tubuh maupun pertumbuhan otak akibat kekurangan gizi kronis, terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan juga adanya infeksi berulang.
Dikatakan Kepala BKKBN, Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K), inisiasi menyusui dini yang dilakukan sesaat setelah melahirkan dan pemberian ASI eksklusif dapat mencegah 1.5 hingga 1.9 kali risiko stunting pada anak.
“Selain IMD dan ASI eksklusif, sangat penting menjaga jarak untuk kehamilan berikutnya. Jarak kelahiran anak yang lebih dari tiga tahun tidak akan menyebabkan anak kekurangan nutrisi,” kata Hasto dalam webinar INVEST-ASI Indonesia untuk Bumi yang Lebih Sehat.
“Pemberian ASI eksklusif ini juga bisa membantu sebagai kontrasepsi alami. Biasanya beberapa bulan pertama saat menyusui, menstruasi akan berhenti. Tetapi, jika menstruasi sudah mulai kembali, tentu dibutuhkan bantuan alat kontrasepsi untuk mencegh kehamilan beruntun,” lanjutnya.
Baca juga: Jalan Panjang Mengubah Perilaku Kesehatan untuk Cegah Stunting
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.