Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Kita Membutuhkan Undang Undang untuk Melawan Kekerasan Seksual?

Kompas.com, 30 Maret 2021, 21:47 WIB
Wisnubrata

Editor

KOMPAS.com - Bertepatan dengan momen International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional, seorang korban pemerkosaan bernama Amy menceritakan kejadian yang menimpanya dengan suara lirih.

“Saya Amy, pada Agustus 2019 saya mengalami pemerkosaan di rumah saya sendiri. Meskipun akhirnya saya berani buka suara, tapi ketakutan dan trauma itu tidak mudah dilepas," ujarnya di Gedung DPR-RI, Senin (8/3/2021).

Apa yang disampaikan Amy, mungkin juga dirasakan ribuan bahkan jutaan perempuan Indonesia. Namun banyak diantaranya tidak seberani Amy untuk bersuara karena merasa hukum tidak melindunginya.

Selain itu, setiap korban kekerasan seksual memiliki respon yang bebeda-beda. Ada yang bisa segera mencari bantuan, namun kebanyakan benar-benar depresi dan memilih diam.

Bercerita, bagi korban berarti mengingat kembali peristiwa traumatis yang pernah ia alami, dan itu sangat menyakitkan. Karena itu dibutuhkan kesiapan mental dari korban untuk bercerita.

Belum lagi jika korban harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang memojokkannya dan menjadikannya ikut bersalah, seperti pertanyaan "Apakah kamu mengenakan pakaian terbuka? Mengapa kamu tidak melawan atau berteriak? dan sebagainya.

Ketakutan korban kekerasan seksual untuk melapor bisa jadi menandakan ada yang kurang pada hukum kita, ada yang tidak beres pada masyarakat kita.

Mengapa demikian?

Menurut Wawan Suwandi, Public Relations Yayasan Pulih, selama ini kasus kekerasan seksual ditangani menggunakan KUHAP, dimana undang-undang itu belum mengakomodasi kebutuhan korban.

"Bahkan menurut orang yang memahami hukum, KUHP justru banyak memfasilitasi hak-hak pelaku,"ujar Wawan menjawab pertanyaan melalui pesan elektronik.

"Korban, termasuk korban dengan disabilitas, terkadang mengalami trauma berulang selama proses pelaporan, pemeriksaan, mendapat pertanyaan/pernyataan yang menyalahkan korban. Trauma berulang juga terjadi hingga di persidangan," katanya.

Selama ini korban juga rentan dilaporkan balik oleh pelaku, sebagaimana yang pernah menimpa BN, korban kekerasan seksual yang dilaporkan oleh pelaku, yang saat itu menjabat sebagai kepala sekolah.

Menurut Komnas Perempuan, aturan dalam Sistem Peradilan Pidana tidak sensitif terhadap kebutuhan khusus korban. Saksi atau korban seringkali tidak mendapat bantuan hukum atau pendampingan.

Pasalnya, KUHAP hanya mengatur hak atas bantuan hukum bagi tersangka dan terdakwa. Sedangkan UU Perlindungan Saksi Korban hanya mengatur bahwa hanya dalam kasus tertentu dan dengan keputusan LPSK, saksi dapat memperoleh bantuan hukum.

Baca juga: Melawan Kekerasan Seksual, Mengapa RUU PKS Harus Disahkan?

Masih menurut Wawan Suwandi, dalam penegakan hukum, pemulihan bagi korban kasus kekerasan seksual saat ini masih belum ditopang oleh regulasi yang secara spesifik mengatur tentang kekerasan seksual.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau