BAHAGIA. Itulah yang paling didambakan semua orang di dunia. Tua-muda, di desa maupun di kota, apapun latar belakangnya, setiap orang tentu berjuang sekuat tenaga untuk menggapainya.
Ya, apa yang kita lakukan saat ini mencerminkan apa yang menurut kita bisa mendatangkan kebahagiaan.
Berbisnis agar makin cuan, melanjutkan pendidikan ke jenjang tertinggi agar makin prestis, mengejar kursi di Senayan agar makin terpandang, membeli barang bermerek agar dianggap kaya, mati-matian membuat konten agar menarik banyak pengikut, dan seterusnya.
Baca juga: 11 Kunci Hidup Bahagia Menurut Sains
Sayangnya, kebanyakan manusia salah memahami esensi kebahagiaan itu sendiri. Alih-alih mendapati kebahagiaan, kebanyakan dari kita justru berakhir dengan kekecewaan, ketakutan, kelelahan, kerisauan atau kegalauan.
Mengapa itu terjadi?
Karena, entah diakui atau tidak, bahagia versi kita senantiasa diikuti syarat. Ada orang yang baru bahagia ketika mendapatkan cuan setriliun. S
ebagian orang baru bahagia ketika mendapatkankan 1 juta subscribers di YouTube. Tak sedikit yang baru bahagia ketika mampu mengunjungi destinasi wisata yang diimpikan.
Kita seringkali lupa bahwa bahagia itu sejatinya tanpa syarat. Karena bahagia itu merupakan pilihan.
Segala kejadian yang kita alami sesungguhnya bersifat netral. Kita sendirilah yang melabeli, menghakimi, atau memberikan penilaian. Itulah mengapa memiliki sikap yang bijak begitu mutlak diperlukan.
Kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar diri kita. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah sikap kita. Kebanyakan orang "gagal" bahagia karena senantiasa melihat hasil akhirnya.
Mereka lupa bahwa kebahagiaan itu ada di setiap momen. Mereka mengabaikan bahwa hal-hal kecil di sepanjang hidup kita sebenarnya juga bisa memberikan kebahagiaan.
Kebahagiaan sejati sesungguhnya datang di dalam diri kita. Bukan dari luar diri.
Itulah mengapa hal-hal yang tampak dari luar seperti harta, tahta, ketenaran, barang bermerek, dan pengakuan dari orang lain pada dasarnya bersifat netral. Kalaupun kita belum bisa menggapainya, bukan berarti kita tidak berhak bahagia.
Jika kebahagiaan saya ibaratkan sebagai sumber cahaya, kebanyakan orang justru mengejar bayang-bayangnya. Sehebat apapun mereka mengejar bayangan sendiri, mereka tidak akan pernah berhasil. Karena sumbernya ada di dalam dirinya.
Mayoritas orang ibarat mengejar kupu-kupu. Semakin mereka mengejarnya, maka semakin menjauhlah binatang nan cantik itu.