Membentuk kerangka pikir para pemangku kepentingan, termasuk pemda, seputar masalah gizi amat pelik – terutama jika kita sudah terpola sedemikian rupa tentang ‘apa sih gizi baik dan pangan sehat itu?’.
Di tanah air yang kaya akan bahan pangan utuh dan segar, betapa mirisnya fakta statistik menunjukkan, rata-rata konsumsi dan pengeluaran per kapita penduduk Indonesia di ranking paling atas ditempati oleh makanan dan minuman, lalu tepat di bawahnya adalah… rokok.
Bagaimana mungkin buah-buahan dan umbi hanya mendapat tempat di bawah 5% dari pola konsumsi masyarakat kita?
Baca juga: Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?
Di kampung-kampung, para ibu dengan bangga saling berlomba pamer susu formula mahal untuk konsumsi bayinya, diperparah dengan sindiran sinis beberapa nakes yang menuding ASI sudah tak ada gunanya di atas usia 6 bulan.
Tak heran jika akhirnya kita masuk dalam pusaran kemiskinan dan kebodohan, yang fenomenanya semakin kentara saat para relawan gizi berjuang mengoreksi pemahaman yang keliru tentang pemberian makan bayi dan anak di tenda-tenda bencana.
Bencana alam barangkali fenomena kerusakan yang dampaknya langsung terlihat hari ini, tapi di balik itu semua terselubung juga fenomena kerusakan kualitas pangan masyarakat kita.
Hal itu mestinya tidak perlu terjadi. Asal kita mau berkolaborasi, membuat rakyat bangga akan pangan lokalnya sendiri, dan menjamin kebutuhan gizi anak juga tercukupi.
Baca juga: Pangan Asli yang Terinvasi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.