Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Pernikahan Dini yang Tidak Dinantikan

Kompas.com - 06/03/2023, 11:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pertama, faktor usia. Idealnya orang menikah ketika mencapai usia dewasa. Usia sangat erat dengan tahap perkembangan sesorang, mulai dari perkembangan fisik, kognitif, psikososial, emosi dan moral.

Menurut Erikson (salah satu tokoh Psikologi Perkembangan), remaja sedang berada dalam tahap Identity versus Identity Confusion. Di mana sesorang sedang berusaha mencari jawaban untuk dirinya sendiri, siapa saya, masa depan saya akan menjadi seperti apa, apa tujuan hidup saya.

Proses berpikir sedang diasah agar remaja dapat mempersiapkan diri, agar di fase perkembangan selanjutnya ia dapat menjadi pribadi yang matang dalam mengambil keputusan.

Banyak keputusan yang ia buat bahkan untuk dirinya sendiri, bukan berdasarkan pertimbangan matang, melainkan berdasarkan trial and error. Kadang bisa jadi penyelesaiannya benar, kadang emosi lebih memengaruhi keputusannya ketimbang faktor logika.

Kedua, faktor pendidikan atau sekolah. Ada peribahasa menyebutkan bahwa ‘kejarlah ilmu setinggi-tingginya’.

Dalam film yang penulis sebutkan di atas, diceritakan bahwa sang ibu terpaksa tidak menyelesaikan tingkat pendidikan SMA-nya.

Tanpa bermaksud mengatakan bahwa lulusan Diploma, Sarjana, Master atau Doktoral pasti lebih baik dalam mengurus anak. Namun, semakin tinggi pendidikan yang kita bisa capai, mendukung kita untuk mempunyai lebih banyak wawasan yang kita miliki.

Semakin kompleks permasalahan yang kita harus hadapi di jenjang Pendidikan, membuat kita terbiasa untuk mengambil keputusan dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi dari setiap keputusan yang kita ambil.

Bukan hanya itu, di sekolah kita bertemu dengan sebagian kecil komunitas masyarakat tempat kita tinggal, kita dihadapkan pada aturan yang harus dipatuhi.

Sekolah mengajarkan kita bagaimana harus berinteraksi secara tepat dengan berbagai karakter orang, serta bagaimana kita menjalankan aturan di masyarakat agar tidak merugikan banyak pihak.

Wawasan seseorang adalah salah satu aspek kecerdasan yang membedakan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan persoalan.

Penulis masih ingat satu adegan dan dialog yang menarik dalam film tersebut, ketika sang anak mengatakan “saya tahu yang kamu lakukan itu baik untuk saya, tapi setidaknya lakukanlah dengan cara yang benar.”

Ketiga, faktor keluarga. Keluarga merupakan bentuk lain selain sekolah, yaitu pendidikan non-formal yang memiliki peran sangat besar.

Keluarga memberikan contoh dan ilmu bagaimana seseorang dapat berperilaku secara adaptif. Sedari kecil pasti kita akan dihadapkan pada situasi-situasi yang tidak menyenangkan, dalam hal ini orangtua memiliki peran sangat besar memberikan contoh bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi situasi yang tidak menyenangkan maupun sebaliknya.

Keluarga merupakan ‘sekolah’ non formal yang memiliki aspek paling penting untuk mendampingi setiap individu, dalam melewati krisis setiap tahap perkembangannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com