Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Ambang Batas Rasa Bersyukur

Kompas.com - 20/03/2023, 08:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEMUA agama mengajarkan manusia untuk senantiasa bersyukur tatkala menempuh perjalanan hidup masing-masing secara jatuh-bangun, bahkan babak-belur menerabas kemelut deru campur debu berpercik keringat air mata dan darah.

Pada hakikatnya rasa bersyukur memang lebih berdampak positif dan konstruktif terhadap kesehatan batin manusia ketimbang misalnya rasa kecewa, amarah, dengki, kebencian serta sejenisnya. Secara kimiawi-biologis rasa bersyukur potensial meningkatkan produksi hormon positif dan konstruktif di dalam tubuh manusia.

Sisi positif dan konstruktif perasaan bersyukur dapat dijumpai pada kearifan Jawa tentang sebaiknya kita merasa bersyukur saat kaki kiri kita diinjak orang lain, sementara kaki kanan kita tidak diinjak oleh suapa pun.

Baca juga: Tingkatkan Rasa Syukur, Hilangkan Rasa Ketidakberdayaan, Atasi Distress

Namun, rasa bersyukur ternyata juga memiliki ambang batas pewujudannya selaras dengan kearifan Jawa empan papan maupun ngono yo ngono ning ojo ngono.

Kearifan Islam juga mengingatkan tentang apapun yang berlebihan niscaya tidak baik.

Ternyata kita tidak bisa bebas merdeka main hantam kromo semau gue dalam mengejawantahkan rasa bersyukur menjadi kenyataan, tanpa peduli lingkungan sosial dan alam serta perasaan orang lain. Rasa beryukur bukan hanya merupakan hak asasi manusia tetapi sekaligus juga kewajiban manusia.

Maka, sebaiknya kita jangan sampai tega merasa bersyukur apabila ada sesama manusia yang mendadak meninggalkan dunia fana ini. Sebab, setiap saat kita sendiri juga bisa dipanggil untuk berpulang ke alam baka.

Sebaiknya kita jangan merasa bersyukur tatkala sesama manusia mengalami prahara jatuh sebagai korban kecelakaan atau bencana alam, apalagi masih ditambah kesyukuran bahwa semua itu terjadi sebagai hukuman dari Tuhan.

Baca juga: Efek Membagikan Rasa Syukur kepada Orang Lain

Sebagai manusia yang dididik secara “modern” menurut kaidah kebudayaan Barat, saya tidak percaya pada takhayul tentang kekuasaan kutukan manusia terhadap sesama manusia.

Namun saya percaya pada kualatisme, bahwa apabila saya mengutuk orang lain maka akhirnya saya malah terdampak kualatisme terhadap diri daya sendiri. Itu selaras dengan kearifan terkait tulah, sesuai peribahasa, menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.

Pendek kata, hukumnya wajib bahwa saya harus menunaikan jihad al nafs demi menaklukkan diri sendiri agar jangan sampai gegabah melanggar ambang batas rasa bersyukur dalam menempuh perjalanan hidup sarat beban demi meraih cita-cita terluhur peradaban yaitu masyarakat adil dan makmur dan hidup bersama di alam gemah ripah loh jinawi tata tenteram kerta raharja berbingkai kearifan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Merdeka!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com