Komunikasi yang terencana dan minimal akan mempermudah anak-anak menerima kondisi ini.
Kuncinya adalah menjauhkan kekesalan, kemarahan atau rasa sakit hati kita dalam setiap interaksi.
Hindari menyudutkan mantan pasangan untuk setiap tindakan yang dilakukannya bersama anak apa pun alasannya.
Hindari menggunakan anak ebagai mata-mata, pembawa pesan, sekutu, atau orang kepercayaan.
Wajar saja jika kita ingin tahu kondisi pasangan saat ini setelah bercerai termasuk soal kehidupan pribadinya.
Baca juga: Sudah Pisah, Apa Resep Sukses Co-Parenting Kourtney Kardashian dan Scott Disick?
Namun jangan menyelidikinya dengan melontarkan berbagai pertanyaan kepada anak.
Hal ini akan membuat buah hati merasa terjebak di tengah-tengah dan tidak setia kepada orangtuanya.
Aturan yang serupa memang memudahkan anak-anak menjalani transisi tapi tak perlu dipaksakan untuk menekan potensi konflik.
Jika sebagai pasangan suami istri kita sulit bersepakat maka rasanya hal itu lebih sulit dilakukan setelah berpisah.
Hampir semua orangtua memiliki perbedaan dalam pola asuh dan merasa telah memutuskan yang terbaik untuk anak.
Baca juga: Bahaya Mengasuh Anak dengan Pengalaman Masa Lalu
Untuk memastikan co-parenting berjalan lancar, cobalah menerima perbedaan sikap kita dengan mantan pasangan.
Jika ada ganjalan, hindari menceritakannya pada anak dan lebih baik curhat kepada teman untuk melegakan perasaan kita.
Kita akan sembuh lebih cepat dari luka perceraian jika bisa melakukannya.
Kita dan mantan pasangan mungkin merasa satu sama lain cenderung mengontrol atau mengganggu pengasuhan masing-masing.