LAGI-lagi masalah pamer kemewahan melibatkan keluarga aparat pemerintah menjadi sorotan. Sebagaimana belum lama berselang, perhatian publik negeri ini tertuju pada anak pejabat yang senang memamerkan kekayaan orangtuanya di media sosial.
Bukankah orang-orang sejak dahulu kala sudah biasa melakukannya? Tentu. Perbedaannya, dulu teknologi media belum seperti sekarang, terutama dengan berkembangnya media sosial sehingga perilaku pamer tersebut, apalagi dilakukan pejabat dan/atau keluarganya, tidak serta merta dilihat khalayak luas, apalagi seantero negeri yang menimbulkan sentimen opini negatif, bahkan cibiran.
Pada awalnya, publik hampir tidak mengetahui perilaku pamer tersebut kalau bukan karena tindakan tak terpuji, yakni agresi, non-fisik dan fisik, yang dilakukan kepada orang lain.
Apakah karena pejabat dan keluarganya, maka menyita perhatian publik?
Pamer kemewahan, apalagi dilakukan pejabat dan/atau keluarganya mengusik rasa ingin tahu publik tentang penerapan aturan mengenai gaya hidup, penerapan kode etik dan kode perilaku yang berlaku, kepatuhan terhadap himbauan pimpinan di institusi masing-masing terutama contoh yang ditunjukkan presiden dalam upaya mewujudkan tata pengelolaan pemerintahan yang baik, apakah diikuti aparat pemerintah.
Artinya, pejabat pelaku pamer menimbulkan keingintahuan publik terhadap integritas pejabat di balik kemewahan yang dipamerkan.
Bila terindikasi dari hasil korupsi, selain sangat mungkin menggerus kepercayaan kepada pemerintah, juga dalam situasi ekstrem bisa berakibat pada ketidakpatuhan melaporkan dan membayar pajak, secara umum pembangkangan sipil lainnya. Ini yang sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adakah yang salah bila memamerkan kekayaan? Hutapea dalam tulisannya berjudul Flexing: A Narcissistic Behaviour? pada T-Magz edisi 15 Mei 2022, menyatakan bahwa aksi pamer, apalagi bila berlebihan, sangat mungkin menunjukkan kondisi psikis tak sehat.
Di antaranya adalah tendensi distorsi diri, rasa rendah diri dan harga diri yang rendah di balik keinginan untuk tampil seperti orang yang paling hebat dengan memamerkan kemewahan, merasa paling berhak untuk diutamakan atau didahulukan, tak jarang sangat angkuh, mendominasi, sombong dan arogan.
Terlebih lagi bila memaksakan diri untuk bisa melakukannya karena sebenarnya bukan tergolong kaya, dampaknya bisa terjerat hutang karena sedemikian berupaya untuk bisa pamer dan bergaya hidup mewah.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.