KOMPAS.com - Kualitas udara Jakarta yang buruk selama Juni-Agustus 2023 memicu peningkatan kasus penyakit pernapasan sebesar 34 persen.
Hal ini khususnya terjadi saat kenaikan polusi PM2.5 sebesar 10 μg/m3, berdasarkan studi Nafas, platform digital pemantau kualitas udara, dengan penyedia layanan kesehatan digital, Halodoc.
Tak hanya di pusat kota, tren serupa juga terjadi di wilayah Jabodetabek.
Baca juga: Polemik Polusi Udara Jakarta dari Masa ke Masa
Saat polusi meningkat, persentase keluhan penyakit pernapasan di setiap kecamatan di Jabodetabek juga naik hingga 41 persen.
Diketahui pula jika semakin sering kejadian polusi tinggi PM2.5 di atas 55 μg/m³) maka ada potensi semakin tinggi risiko terjadinya keluhan penyakit pernapasan dalam kurun waktu 12 jam.
"Melalui laporan studi ini, masyarakat dapat lebih memahami risiko kesehatan akibat polusi udara yang dampaknya dirasakan mulai dari jangka pendek, tidak hanya jangka panjang
saja," terang Piotr Jakubowski, Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, dalam webinar hari ini.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat ISPA pada Anak
Keluhan sinusitis dan asma menjadi mengalami kemunculan kasus tercepat yakni 3 - 48 jam sedangkan asma dan bronkitis menjadi peningkatan kasus tertinggi hingga lima kali lipat.
Peningkatan kasus penyakit pernapasan tertinggi terjadi pada kelompok sensitif yakni 48 persen di kelompok usia di atas 55 tahun dan disusul 32 persen di kelompok usia 0-17 tahun.
Data ini didapatkan lewat studi terbatas, menggabungkan informasi Nafas terkait persebaran lokasi sensor di 73 kecamatan di Jabodetabek dan informasi Halodoc pada Juni-Agustus 2023.
Baca juga: Polusi Udara Picu Kekambuhan Asma
Laporan terkait dampak PM2.5 terhadap kondisi kesehatan ini disusun dengan metode statistik deskriptif analisis, mengaitkan tingkat polusi dengan jumlah telekonsultasi terkait penyakit pernapasan di aplikasi Halodoc di Jabodetabek.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.