Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel
Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com
Saya kira inilah masalah terbesar kedua yang dihadapi oleh orangtua dalam menjalankan pola asuh di tengah banjir informasi yang datang melalui gadjet.
Tentu anak-anak tidak bisa dilarang menggunakan gadjet. Namun, melepaskannya begitu saja juga berdampak buruk pada anak.
Menjaga keseimbangan penggunaan teknologi oleh generasi Alpha dan Beta (lahir 2010-2025), merupakan tantangan berat orangtua. Jika mereka gagal menjaga keseimbangan penggunaan gadjet, anak-anak tidak hanya mengalami kecanduan, tetapi juga kesulitan mengontrol emosi.
Sayangnya, banyak orangtua malah terdistraksi oleh gadget bersama anak-anaknya.
Masalah pola asuh ketiga juga termasuk neglectful atau pengabaian, tetapi bukan oleh ayah (fatherless), tetapi pengasuhan tidak layak.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (2025), sebanyak 3,6 persen anak balita mengalami pengasuhan tidak layak, seperti minimnya pemenuhan kebutuhan fisik, emosional, dan pendidikan.
Kemiskinan menjadi faktor utama, disusul ketidakharmonisan rumah tangga, dan kehamilan di luar nikah pada usia remaja.
Hampir setiap hari kita membaca berita di media massa maupun media sosial tentang penelantaran bayi akibat ketidaksiapan ekonomi maupun mental orangtua.
Masalah keempat adalah pola asuh otoriter dan permisif yang terjadi di sebagian besar keluarga Indonesia.
Menurut BKKBN (2024), pola asuh otoriter dan permisif masih dominan dalam kehidupan rumah tangga Indonesia.
Studi di beberapa kota, menunjukkan pola asuh otoriter dan permisif menyebabkan gangguan fungsi eksekutif pada orang dewasa. Yang dimaksud fungsi eksekutif adalah kemampuan memecahkan masalah.
Baca juga: Cara Menjaga Kesehatan Mental Anak Usai Orangtua Bercerai
Masalah pola asuh kelima adalah trauma orangtua yang menurun pada anak. Orangtua yang memiliki trauma masa lalu, misalnya akibat kekerasan atau pengabaian, cenderung mengulangi pola toxic tersebut pada anak.
Bisa terlalu protektif, kontrol berlebihan, atau mengabaikan kebutuhan emosional anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2023), mencatat 2.971 kasus anak korban pengasuhan bermasalah, termasuk kekerasan verbal dan nonverbal yang dipicu trauma orangtua.
Jika tidak dilakukan upaya pencegahan, anak-anak yang jadi korban kekerasan ini, setelah dewasa nanti akan menurunkan kembali pola asuh serupa kepada anak-anaknya. Trauma turunan ini membuat gelap masa depan.