Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya

Kompas.com - 19/01/2018, 19:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

 

Lempar kangkung tumbuh kangkung, tancap pisang muncul pisang lagi – mustahil Papua menderita gizi buruk, jika semua orang bekerja sesuai dengan kompetensi dan amanat.

Faktanya, pendatang atas nama perusahaan asing bermodal kekuatan kontrak bersliweran mengeruk Papua hingga lubang besar menganga di tengah pulau berlimpah emas dan simpanan kekayaan bumi yang sengaja Tuhan titipkan.

Dokter perusahaan asing menikmati banyak fasilitas termasuk kemudahan – dan agar tidak terlalu mencolok, tentu program kesehatan bukan cuma dinikmati pekerja perusahaan.

Mereka juga menaburkan ‘icip-icip’ berobat gratis untuk ‘penduduk sekitar’ yang hanya sekian persen dibanding total populasi Papua.


Papua Bagaikan Afrika di Tanah Air Indonesia

Di sisi lain, mayoritas rakyat pedalaman tak terjamah, hidup di tengah rawa dan mencari makan di hutan hingga kehilangan makna.

Yang amat menarik, pemerintah daerahnya justru ‘terkejut’ mendengar penderitaan sekian banyak rakyatnya lewat pemberitaan media. Begitu mengerikannya otonomi berada di tangan yang khilaf amanat.

Rakyat Papua mustahil memahami Gerakan Masyarakat Hidup Sehat sebagai Inpres pertama di bulan Januari 2017.

Sudah setahun gaungnya, deklarasinya, semboyannya, beredar – di level pelatihan dan sosialisasi pejabat kesehatan.

Padahal, Germas bukan urusan kesehatan saja. Kerja ramai-ramai borongan antar kementerian, lintas dinas. Demi percepatan pembangunan – agar sehat rakyatnya, kuat bangsanya.

Bahagia belum tentu, karena semua harus punya budaya kerja yang baru, bernama revolusi mental – jargon sulit karena mentalitas secara psikologi sosial sudah menjadi ‘normalitas’ sehari-hari.

Sayangnya, - jangankan Germas, penduduk Papua barangkali hanya kenal istilah ‘pengobatan gratis’ menjelang Pilkada.

Dan di saat deru angin gizi buruk melanda, bisa jadi bagi-bagi susu formula dan makanan kemasan menjadi metode baru menarik simpati, sekaligus cara baru mematikan generasi emas Papua.

Sementara, seorang perempuan di sana biasa melahirkan 10 hingga 12 kali sepanjang hidupnya, dan terbiasa dengan sekian banyak balitanya yang mati.

Papua jadi mirip wajah Afrika di tanah air sendiri. Anak-anak di pedalaman berperut buncit akibat cacingan atau pembesaran limpa, karena malaria.

Sedangkan, sebagian kecil oknum dewasanya di kota berperut buncit, akibat makan berlebihan dan mulai menderita hipertensi serta diabetes akibat makan nasi seperti orang Jawa dan sarapan roti.

Menjadi ‘tuan yang miskin’ di tanah yang kaya, sungguh ironi bagi masyarakat Papua. Lebih miris lagi, pendatang menggerogoti sambil membiarkan mereka tetap miskin dan bodoh.

Sehingga, ada alasan jika publik dunia mempertanyakannya. Orang Papua malas dan bodoh. Sial sekali.

Dibutuhkan lebih dari sekadar sistem, survailans, atau semua program-program bagus yang tercetak di brosur dan buku modul yang menghabiskan uang itu.

Bisa jadi pemimpin Papua harus dipilih dengan cara yang ‘agak sedikit beda’ persyaratannya, mengingat medannya berbeda.

Atau pelatihan-pelatihan jangan lagi diadakan di pusat, melainkan yang memberi pelatihan justru masuk ke kabupaten yang penuh rawa dan parasit malaria itu. Berhadapan langsung dengan isolasi geografis dan tradisi. Nah, baru cocok dengan realita.

Di tengah prihatinnya kita dengan ini semua, semoga publik tidak lagi dibutakan oleh foto-foto artis Indonesia yang berlibur dengan harta karun milyaran dan memberikan ilusi palsu tentang kebahagiaan.

Sebab faktanya, Dubai yang bergelimang emas berlian pun tidak memberikan ‘vibe’ soal harga nilai kemanusiaan. Karena harta manusia dan harga manusia, perbedaannya amatlah jauh sekali.

[Baca juga : Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim? ] 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com