Oleh: Rangga Septio Wardana dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Toxic positivity merupakan suasana atau kondisi yang memaksakan untuk selalu memiliki pemikiran positif tentang segala hal. Umumnya, seseorang yang mengalami kondisi ini akan menganggap semuanya baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak.
Menurut Positive Psychology, toxic positivity adalah mempertahankan bahwa seseorang harus memiliki pemikiran dan emosi positif setiap saat, meskipun tengah mengalami hal-hal sulit.
Namun, kondisi ini dapat berdampak buruk karena terus-menerus mengabaikan emosi yang tak positif. Pasalnya, hal ini dapat digambarkan sebagai penolakan terhadap kejadian yang tak menyenangkan.
Hal ini pun dibahas oleh psikolog Ayoe Sutomo dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Ayoe Sutomo: Kenali Perbedaan Self-Love, Selfish, Over Confident, dan Toxic Positivity”, dengan tautan akses dik.si/AnyJiwPerbedaan.
Dilansir dari Healthline, toxic positivity adalah asumsi, baik oleh diri sendiri atau orang lain bahwa mereka harus berpikir positif. Kondisi ini akan mengesampingkan rasa sakit emosional atau situasi sulit yang sedang dialami.
Baca juga: Mengenal Gangguan Kepribadian Antisosial pada Anak
Selain itu, orang yang mengalami toxic positivity menganggap bahwa emosi negatif adalah sesuatu yang buruk. Mereka cenderung mengutamakan pola pikir positif dan kebahagiaan yang didorong secara kompulsif.
Kesedihan dan kehilangan merupakan sesuatu yang normal. Seseorang dengan kondisi toxic positivity cenderung memaksakan untuk menyampingkan perasaannya.
Toxic positivity cenderung membuat orang yang mengalaminya merasa tertekan karena harus selalu memiliki pola pikir positif. Selain itu, mereka juga akan enggan mencari dukungan orang lain. Akibatnya, mereka merasa terisolasi atau malu dengan perasaan mereka.
Umumnya, setiap orang terkadang memiliki emosi negatif. Toxic positivity mendorong orang mengabaikan emosi negatif mereka, meskipun menahannya dapat membuat mereka merasa lebih kuat.
Melansir dari Healthline, ada beberapa cara sederhana untuk mengatasi toxic positivity.
Emosi dan perasaan merupakan sesuatu yang wajar dimiliki manusia. Menghindari untuk merasakan emosi negatif hanya akan memperpanjang ketidaknyamanan.
Faktanya, mengungkapkan emosi dan perasaan dapat mengurangi intensitas kesedihan, kemarahan, dan rasa sakit.
Agar lebih produktif, mulailah dengan langkah kecil yang dapat ditindaklanjuti. Kembangkan hal-hal yang sudah dikenal dan kuasai.
Baca juga: 6 Manfaat Me Time untuk Kesehatan Mental
Pasalnya, hal ini akan membuat seseorang merasa lebih baik dibanding harus berharap pada sesuatu yang tak realistis.
Dengarkan informasi lengkap seputar fear of abandonment dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Ayoe Sutomo: Kenali Perbedaan Self-Love, Selfish, Over Confident, dan Toxic Positivity”, yang bisa diakses melalui tautan dik.si/AnyJiwPerbedaan di Spotify.
Di sana, kamu bisa menemukan berbagai informasi menarik seputar kesehatan mental yang bermanfaat untuk kehidupan personal, sosial, dan asmara.
Akses juga playlist-nya di YouTube Medio by KG Media agar kamu tak tertinggal episode terbarunya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.