KOMPAS.com - Cinta saja tidak cukup untuk membuat pernikahan berjalan mulus.
Seiring waktu, perasaan cinta kita bisa memudar dan digantikan oleh marah, kesal, lelah dan bosan terhadap pasangan.
Perasaan tersebut sebenarnya wajar dirasakan saat menjalani komitmen jangka panjang dan hanya bagian dari fase pernikahan.
Baca juga: 3 Pemicu Keretakan Pernikahan Menurut Pakar
Sayangnya, kebanyakan pasutri sering kali abai dengan situasi tersebut sehingga menilai pernikahannya bermasalah.
Perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti dalam pernikahan.
Sikap pasangan mungkin saja berubah, termasuk pula perilakunya kepada kita.
Namun jangan buru-buru berpikiran buruk karena mungkin saja itu hanya bagian dari fase pernikahan, yang tergolong normal.
Baca juga: 6 Tips Miliki Pernikahan yang Lebih Bahagia
Seperti apa?
Pada tahap awal ini, masing-masing pihak menemukan kegembiraan dalam memenuhi kebutuhan pasangannya.
Ada harapan bahwa kebutuhan masing-masing akan terpenuhi dan pernikahan berfungsi untuk memperkuat rasa cinta dan perhatian ini.
Umumnya, pasutri tetap mampu memperdalam pemahaman mereka satu sama lain terlepas dari tantangan kehidupan sehari-hari.
Baca juga: 3 Solusi Redam Konflik Pasangan Pengantin Baru
Fase kedua, dinamika hubungan berubah saat salah satu pihak gagal memenuhi ekspektasi pasangannya, sehingga menimbulkan kekecewaan dan penderitaan.
Keyakinan akan tanggung jawab bersama atas kebahagiaan satu sama lain tetap ada, namun perilaku menjadi lebih manipulatif.
Hal ini sebagai upaya menyenangkan pasangan yang bertujuan memulihkan keadaan awal pernikahan yang ideal.
Baca juga: 5 Kesalahan Sikap yang Bisa Merusak Perkawinan
Cinta dan perhatian tidak lagi tanpa syarat, dan pasangan ragu antara bersikap kritis dan merasa sakit hati atau kecewa ketika hubungan tidak mencapai kondisi ideal.