KOMPAS.com - Kebanyakan orangtua lebih mengkhawatirkan soal pelajaran anaknya di sekolah, apakah nilainya bagus, apakah mereka sudah mengerjakan PR, dan lainnya.
Beberapa mungkin memikirkan apakah anaknya mempunyai cukup banyak teman, atau apakah mereka menjadi korban bully. Namun sedikit saja yang mencemaskan apakah anaknya akan menjadi pelaku bullying.
Ketika seorang anak menjadi pelaku bullying, apalagi sampai viral seperti kasus di Binus School Serpong, Tangerang, Banten, Februari 2024, orangtua pastilah ikut merasakan susahnya.
Nah, sebelum terlambat, ada beberapa langkah yang dapat kita ambil untuk membesarkan anak yang berempati dan baik hati, sehingga kecil kemungkinannya dia menjadi penindas ketika besar nanti.
“Penting untuk mengajari anak-anak apa saja yang dimaksud dengan perilaku bullying karena tidak semua anak menyadari tindakannya sebagai perilaku membully. Bisa saja mereka menganggap itu sebagai candaan biasa,” jelas psikolog anak Amy Lee, PhD.
“Dan ketika orangtua melihat perilaku bullying yang dilakukan anak, kita perlu memastikan bahwa hal tersebut dihentikan.”
Baca juga: 5 Hal yang Dirasakan Orang Setelah Di-bully, Tidak Hanya Sakit Hati
Dr. Lee berbagi beberapa cara untuk mendorong komunikasi yang terbuka dengan anak, dan menjelaskan cara menghentikan penindasan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata “bullying” menjadi cara yang lebih umum untuk menggambarkan bagaimana seseorang memperlakukan orang lain secara negatif.
Dr. Lee mendefinisikannya sebagai “perilaku agresif berulang yang ditujukan pada seseorang atau kelompok untuk menggunakan kekuasaan atas orang atau kelompok tersebut.”
Hal ini termasuk mengendalikan, melecehkan, melakukan kekerasan fisik, dan mengintimidasi orang lain.
Ketika kita memikirkan seperti apa pem-bully itu, kemungkinan kita membayangkan seorang anak yang bertubuh besar yang suka mengganggu anak lain di taman bermain sekolah. Namun faktanya, siapa pun bisa menjadi pelaku intimidasi, tanpa memandang jenis kelamin, ras, usia, atau ukuran tubuh.
Dan penindasan dapat terjadi di mana saja – mulai dari kelas olahraga hingga secara online. Cyber bullying bahkan cenderung terjadi secara rahasia dan lebih sulit dideteksi.
“Saya pikir satu hal yang harus dipahami orangtua adalah bahwa anak-anak bisa menjadi pelaku bully dan korban – semuanya terjadi pada saat yang sama,” jelas Dr. Lee.
“Seorang anak mungkin merasa tidak aman terhadap hal lain dan menggunakan penindasan sebagai cara untuk merasa penting dan diperhatikan.”
Dan jika anak Anda menjadi seorang pelaku bully, penting untuk menyadari bahwa Anda tidak mempunyai anak yang nakal — anak mungkin hanya menggunakan penindasan sebagai strategi untuk menghadapi situasi atau melindungi diri mereka sendiri.
Baca juga: Kenali Risiko Bunuh Diri pada Remaja yang Di-bully