Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Pasutri Asal Bandung, Bikin Sepatu hingga Raih Omzet Miliaran

Saat itu, apa pun yang berbau denim, sangat diminati. Termasuk hal-hal yang berdekatan dengan denim, seperti sepatu/bot kulit.

Kondisi ini menggelitik dua mahasiswa tingkat akhir Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prima Rahadiantara Subakti, dan Wafi.

Mereka melihat ada peluang besar di sepatu/bot leather. Apalagi saat itu, masih sedikit brand lokal yang mampu bersaing dengan merek internasional.

“Kami lalu riset produk dan craftmanship. Akhirnya kami membentuk Txture sebagai solusi atas problem tersebut."

"Menciptakan leather shoes dan bot yang berkualitas baik,” ujar Prima kepada Kompas.com.

Pria yang akrab disapa Joe ini mengaku -awalnya, tidak mengeluarkan modal dalam bisnisnya. Sebab pertama kali dibentuk, Txture menggunakan sistem pre-order.

Joe bekerja sama dengan beberapa perajin yang terpilih menggunakan sistem freelance.

Begitu pun untuk material, ketika ada order, barulah Joe akan bernegosiasi dengan pihak toko untuk melakukan sistem pembayaran secara mundur.

“Semua cashflow kami jaga sedemikian rupa, 'meminimalisir' fixed cost, dan menggantinya dengan variable cost,” ucap dia. 

Perlahan namun pasti, Txture berkembang. Kini, Txture dikenal sebagai salah satu sepatu handwelted construction yang menyasar kelas premium asal Bandung.

Sepatunya Txture pun kian diburu konsumen. Seperti saat Txture merilis empat artikel di sebuah pameran di Jakarta pada tahun 2011 silam.

Hanya dalam waktu sekejap, sepatu yang dibanderol mulai harga Rp 1,85 juta itu laris manis.

Bahkan, tak hanya empat artikel itu, varian lain pun selalu laku terjual. 

Godaan kemudian datang saat mereka mulai tergiur dengan banyaknya order di luar Txture pada 2013-2014.

Dan, Joe mengakui mereka salah mengalkulasi dalam pembuatan jasa, dan malah fokus ke produksi titipan merek orang lain, bukan Txture.

“Kami belum terlalu dewasa. Belum bijak spending money. Tahun 2013-2014, kami minus Rp 450 juta,” ucap Joe.

Setelah minus begitu banyak, mereka tersadar harus berubah. Maka langkah rebranding  pun dilakukan.

Mereka mengembalikan kultur Txture yakni traditional shoe and bootmaking.

Dengan produk yang berkualitas dan desain yang menarik, mereka tidak sulit bangkit. Bahkan di tahun 2016, omzetnya sudah mampu menyentuh angka Rp 2 miliar.

Ketika mereka menikmati manisnya kerja keras, persoalan kembali datang.

Pada 2017, perajin sepatu mereka dibajak dengan iming-iming gaji yang tidak masuk akal dari kompetitor lain.

Tak tanggung, dari 10 perajin, yang tersisa hanya satu dari bagian finishing. Padahal, saat itu order sudah masuk.

“Txture itu made to order, pengerjaannya dua bulan,” ucap CEO Txture, Annisa Amalina Tamimi.

Mereka kemudian berhenti menerima order. Selanjutnya, fokus mereka adalah merekrut perajin baru, yang amat memakan waktu.

Apalagi sepatu Txture terbilang susah, sedangkan regenasi perajin sepatu di Cibaduyut kurang bagus.

Seperti seorang ibu rumah tangga yang belajar dari nol, dan kini bertugas memegang upper.

Untuk mencegah pembajakan perajin, Txture menerapkan sistem kontrak kerja.

Txture kemudian bangkit, dan melahirkan beberapa karya fenomenal. Di saat yang sama, mereka berkesempatan mengikuti trunk show di Maroko.

“Itu momentum untuk bangkit. Dalam dua bulan, bisa menggantikan enam bulan (masa jatuh) tahun lalu,” ungkap Annisa.

Kini, Txture bisa memproduksi 50-60 pasang per bulan dengan pengerjaan 2-3 bulan. Saat ini omzet Txture rata-rata mencapai angka Rp 1,88 miliar per tahun.

Penjualan di Indonesia, terbanyak di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali. Di luar negeri, pemesanan berasal dari Amerika Serikat, Singapura, Jerman, dan Kanada.

“Kerja sama dengan Hong Kong ke-pending dulu. Nanti brand Txture akan ada di toko di sana dengan sistem jual putus."

"Kanada juga mau buka, tapi belum deal harganya. Saya ingin perputaran uang cepat,” kata Annisa.

Bagi Joe dan Annisa, Txture bukan hanya perusahaan tapi kisah cinta. Mereka didekatkan karena sepatu Txture yang dibeli kakak Annisa di Jepang.

“Kami dipertemukan di Kyoto. Ternyata kakak Annisa pernah beli sepatu Txture,” ucap Joe.

Annisa menambahkan, Jepang memiliki empat musim dan sang kakak kerja di outdoor, sehingga butuh sepatu bot untuk sehari-hari.

Di sana, Annisa belajar banyak soal sepatu dari Joe. Annisa yang penyuka fashion ini pun lama-lama tertarik dengan dunia sepatu, sekaligus menerima pinangan Joe untuk menikah.

Pulang dari Jepang, Annisa pun fokus membantu Txture. Ia memegang jabatan CEO yang fokus dalam maintenance perusahaan seperti sistem yang dibangun hingga action plan.

Sedangkan Joe merupakan COO. Ia fokus terhadap aspek produksi.

Ketika ditanya apa itu Txture, pasangan suami istri ini mengatakan, Txture merupakan sebuah brand yang meredefinisikan ulang style-style yang terdapat dalam classic shoes dan bot.

Mereka menambahkan sedikit aksen kecil agar terlihat lebih indah, selaras dengan logo Txture “La Fleur” yang memiliki makna keindahan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/03/26/101042220/kisah-pasutri-asal-bandung-bikin-sepatu-hingga-raih-omzet-miliaran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke