Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gempa Bantul, Orangtua Perlu Dampingi Anak untuk Cegah Trauma

Sejumlah bangunan dilaporkan mengalami kerusakan, yang datanya masih terus dihimpun pemerintah.

Getarannya yang cukup besar membuat masyarakat panik dan segera menyelamatkan diri.

Rasa takut tentunya juga dialami oleh anak-anak, apalagi gempa terjadi di malam hari, waktu ketika mereka seharusnya mulai beristirahat di rumah.

Pada momen seperti ini, penting bagi orangtua untuk mendampingi buah hatinya untuk memberikan ketenangan sekaligus mencegah trauma.

Cara orangtua dampingi anak hadapi bencana gempa

Dalam setiap bencana, trauma merupakan dampak yang selalu muncul, termasuk pada anak-anak.

Karena itu penting bagi orangtua untuk memberikan pemahaman mengenai bencana alam sejak dini.

Terlebih lagi kita tinggal di Indonesia, negara dengan risiko bencana yang cukup tinggi dan beragam.

Dr Andrea Baldwin dari Queensland Centre for Perinatal and Infant Mental Health, Australia pernah mengungkapkan pandangannya secara khusus tentang kasus semacam ini.

Dia mengatakan, perlu sikap khusus dari orangtua untuk membantu anak menyiapkan diri, menghadapi dan pulih dari trauma pasca bencana alam.

"Ada peningkatan gejala klinis pada anak, yang pasti, gelisah, tak mau lepas dari orangtua, megamuk, cemas akan perpisahan dan sikap menentang orangtua," ujar dia dikutip dari laman First Five Years.

Karena itu, kita harus cermat membicarakannya dengan anak untuk membantu mereka mengatasi trauma.

Selain itu, pemahaman sejak dini bisa menjadi mitigasi bencana yang membuat anak menjadi pribadi yang lebih siap.

Setidaknya, ada tiga cara yang bisa dilakukan orangtua untuk mendampingi anak setelah mengalami bencana alam yakni:

Mempertahankan rutinitas

Getaran yang terasa saat gempa bumi tentu saja mengganggu aktivitas itu dan mengejutkan anak-anak.

Dalam kasus semacam ini, Dr Baldwin menyarankan untuk tetap mempertahankan rutinitas seperti biasa, pasca bencana.

Lakukan kegiatan seperti biasa termasuk soal jenis aktivitas maupun waktunya.

Cara ini akan menjadi fase penyembuhan bagi anak untuk kembali seperti biasanya.

Pada masa itu, biarkan anak mengutarakan pertanyaan maupun perasaannya berkenaan dengan bencana yang dialami.

Tujuannya untuk melepaskan stres anak terhadap situasi traumatis yang belum lama mereka alami.

Misalnya dengan mencari perhatian berlebih, lebih cengeng atau kerap marah-marah.

Jangan mudah terpancing emosi, sebaliknya orangtua harus lebih bersabar menghadapi anak.

Dr. Baldwin menyebutkan jika sikap ini hanya sementara sehingga akan menghilang seiring waktu.

  • Ajak anak memahami kejadian yang dialami

Kadangkala anak-anak memiliki pola pikir yang ajaib, begitu pula mengenai penyebab bencana.

Mungkin saja mereka kira gempa di Bantul terjadi karena adanya Godzilla, efek dari tayangan yang dinikmati.

Antisipasi pula pikiran bencana terjadi karena kesalahan yang mereka perbuat.

"Anak usia tiga tahun cenderung memiliki pemikiran magis. Setelah topan, mereka mungkin berpikir, 'Saya berteriak pada ibu dan kemudian angin kencang datang', ”kata Dr Baldwin.

Ajak anak memahami kejadian bencana dengan cara sederhana. Jika kebingungan, orangtua bisa mencari video atau buku yang membahas soal terjadinya bencana bagi anak-anak.

  • Kurangi paparan media

Batasi akses anak terhadap media agar tidak terpapar terlalu banyak akan berita bencana.

Pasalnya, mereka bisa mengira hal itu terjadi lagi dan memperparah trauma yang dirasakan.

Steven Berkowitz, Ketua Persoalan Bencana dan Trauma di American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, mengatakan ada kecenderungan orangtua dan anak terpaku pada berita buruk itu.

"Tindakan ini tidak baik efeknya untuk anak-anak karena mereka tidak memahami segalanya, dan itu membuat kewalahan." ujar dia seperti dimuat di laman Huffpost.

Matikan televisi dan atur gadget agar tidak menayangkan terlalu banyak konten bencana.

Dengan cara ini, anak akan menyadari jika ada akhir dari kejadian buruk yang dirasakan dan bukannya malah terus terjebak dari perasaan yang sama.

  • Perhatikan diri sendiri

Orangtua tidak dapat membantu anaknya jika dirinya sendiri kelelahan atau stres karena bencana alam.

Dr Baldwin menekankan pentingnya orang tua terhindar dari stres dan memperhatikan kondisinya sendiri.

"Perasaan Anda sendiri valid dan penting, bicaralah dengan orang dewasa yang dipercaya, teman atau ahli kesehatan," kata dia.

Menurut dia, self healing sangat penting dilakukan karena anak tidak bisa membantu kita.

Sebaiknya segera cari bantuan orang lain jika sudah merasa kewalahan dan tertekan karena mengalami bencana.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/11/21/163313120/gempa-bantul-orangtua-perlu-dampingi-anak-untuk-cegah-trauma

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com