Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dari Rasa Menjadi Petaka

Sekali pun bangga karena mendapat penghargaan dari presentasi abstrak saya, yang membahas Model Pemberdayaan untuk meningkatkan asupan sayur bagi penyandang Diabetes Mellitus dewasa, yang terbukti secara signifikan mengontrol kadar gula darah pada studi terkontrol acak, terselip rasa sedih dan frustrasi akan situasi asupan pangan bayi dan anak di negri sendiri.

Pada salah satu simposium Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam kongres tersebut, dibahas tentang agresifnya iklan industri yang mengubah ‘mindset’ orang (apalagi anak dan remaja), sehingga kampanye meningkatkan kesadaran dan literasi keluarga saja tidak lagi dirasa cukup.

Menggunakan selebrita, artis, bahkan nakes sebagai endorser yang ikut mempromosikan aneka dagangan yang disebut makanan dan minuman, sudah menjadi hal yang amat mengkhawatirkan.

Mengambil judul “Food marketing exposure and power and their associations with food-related attitudes, beliefs and behaviours”, WHO menyerukan, agar pemerintah perlu mengambil tindakan dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang merupakan bagian dari perlindungan anak.

Ketimbang berdiam diri dan pelan-pelan kita menyaksikan malapetaka luar biasa di kemudian hari, DI MANA penyakit-penyakit kronik membebani Jaminan Kesehatan Nasional, serta kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

Pemahaman makanan bergizi

Beberapa hari yang lalu di halaman depan tajuk utama Harian Kompas terpampang judul yang amat menyakitkan: “Separuh Lebih Penduduk Tak Mampu Makan Bergizi” – betapa ironinya, tanah air yang kaya begini, rakyatnya berisiko masuk ke jurang malnutrisi?

Lalu, apa pemahaman orang Indonesia tentang istilah pangan bergizi itu? Bagaimana kita menjustifikasi suatu asupan punya nilai gizi atau tidak?

Lalu bagaimana dengan para orangtua yang justru membiarkan anak-anaknya jajan dengan kepercayaan ‘agar tahan banting, makan terlalu sehat nanti dikit-dikit sakit,’ bahkan ada yang lebih percaya produk kemasan, karena di bungkusnya terpampang rayuan bombastis: mengandung kalsium! Kaya vitamin!

Yang paling menyedihkan jika ada nakes, yang justru menganjurkan para orangtua lebih percaya dengan bubur bayi kemasan karena ‘higienis, dan sudah tertakar gizinya’.

Para orangtua yang sejak awal ditakut-takuti bayangan anak stunting, kurus, tidak pintar, dan mudah sakit, di waktu yang sama gencarnya iklan promosi produk kemasan semakin meruntuhkan rasa percaya diri orangtua untuk mampu memberi makan anak-anaknya dengan makanan rumahan yang diolah sendiri dengan pilihan bahan utuh, berkualitas dan secara kuantitas bisa dipertanggungjawabkan.

Bayi menolak makan diandaikan ibunya tidak pintar masak, kurang bumbu, hambar, dan tidak menarik.

Padahal, di masa transisi anak yang tadinya hanya menyusu, tiba-tiba harus makan, sangat mungkin ada masalah muncul: salah tekstur, salah waktu pemberian makan di waktu bayi terlanjur mengantuk atau perutnya masih ‘begah’ belum buang air besar.

Istilah gerakan tutup mulut alias ‘GTM’ yang sangat fenomenal di kalangan ibu baru, juga bisa disebabkan karena sariawan dan jamur mulut yang mengganggu proses makan.

Pengenalan rasa pada anak yang baru belajar makan, acapkali diasumsikan seperti kekayaan rasa orang dewasa.

Padahal di tahap awal anak makan, rasa manis bisa berasal dari buah, wortel, bahkan udang. Begitu pula gurih dari kaldu, santan, dan aneka protein hewan.

Agak malu rasanya membeberkan fakta bahwa hanya di Indonesia kita meributkan ‘bumbu masak organik’ khusus bayi, atau mengenalkan gorengan di usia yang sangat dini, demi melatih stimulasi oromotor anak.

Padahal anak belajar menggigit irisan tipis apel, bengkuang atau ketimun akan memberi sensasi kriuk sehat sesungguhnya.

Menambah kalori, tidak sama dengan menambah masalah di kemudian hari. Penggunaan santan dalam lauk dan minyak kelapa untuk menumis, sudah lebih dari cukup bagi seorang bayi di bawah usia 2 tahun.

Rangkaian bentukan rasa dan pilihan pangan anak, sebenarnya ditentukan sejak ibunya mengandung.

Bayi yang menyusu pada ibu dengan pola makan sehat, serta konsumsi sayur yang baik, mempunyai tendensi menyukai aneka sumber pangan sehat, sebagaimana telah dibahas dalam studi terkontrol acak di Philadelphia, Amerika Serikat oleh Mennella dan kawan-kawan.

Membiarkan anak ‘makan apa saja yang penting mau makan’, menjadi jalan pintas para orangtua yang tidak mau mengevaluasi kesulitan makan anaknya.

Dalam salah satu jurnal Inggris bergengsi, British Medical Journal – salah satu publikasinya berjudul ‘Impact of childhood experience and adult well-being on eating preferences and behaviours’, menjelaskan pentingnya intervensi dini, sebagai upaya pencegahan pola makan yang buruk dengan akibat beragam penyakit kronik di usia dewasa.

Punya anak gemuk, di sebagian besar masyarakat kita masih menjadi patokan keberhasilan orangtua memberi makan anaknya.

Aneka jajanan dan kemasan yang ada di tanah air pun, dipromosikan dengan tampilan anak-anak lucu gembulita.

Tak heran 74.3% dari semua produk makanan pendamping ASI komersial di Indonesia mengandung imbuhan gula dan 80% camilan sereal kemasan diberi imbuhan garam, sebagaimana dipaparkan dalam presentasi “Assessment of free sugar, added salt, fortification levels and selected labelling practices of commercially produced complementary foods sold in Cambodia and Indonesia” (Mulder dkk).

Gula dan garam menjadi andalan para orangtua saat memasak, bahkan ketika membuat Makanan Pendamping ASI – agar rasanya ‘tidak hambar’ – sekali lagi, kata ‘hambar’ mengandaikan MPASI tidak enak, karena itulah dilepeh si anak.

Belum lagi, saat membubuhkan garam pun tanpa takaran yang jelas, prinsipnya ‘sejimpit’ – padahal bukannya membuat MPASI segala sesuatunya harus tertakar baik?

Ada lagi sanggahan lebih konyol, garam dibutuhkan bayi karena yodiumnya, agar tidak terkena penyakit gondok atau hipotiroid – padahal yang kebanyakan digunakan ibu-ibu dan industri pun bukan garam beryodium.

Dan yodium itu sendiri, secara otomatis terdapat dalam pangan utuh, jika anak mengonsumsi makanan beragam, dari ikan, telur hingga aneka sayur hijau ramah anak (yang tidak membuat sembelit tentunya).

Belajar dari Jepang

Saya beruntung berkesempatan mengunjungi Nara, salah satu kota yang cukup jauh dari Tokyo dan ‘makan seperti orang Jepang’, yang amat menghargai pangan utuh, di mana setiap pagi selalu ada sayur dan buah, ikan atau telur, dan sedikit nasi yang ditanak dengan aneka kacang dan biji-bijian. Sama sekali tidak ada menu gorengan.

Orang-orang tua berjalan kaki dengan gesit, sekali pun suhu dingin sekitar 6-7C setiap hari.

Amat sangat sulit mencari figur obes, sama sulitnya menemukan sampah atau sekadar ceceran bekas bungkus makanan di stasiun atau selokan di depan rumah mereka.

Paparan mayones dan aneka es krim dan coklat menjadi konsumsi generasi Harajuku.

Transportasi terlayani dengan begitu baik, kereta api cepat sekelas shinkansen menjadi andalan, karena terjangkau dari pelbagai penjuru hanya dengan berjalan kaki.

Jepang menjadi begitu terkenal dengan ruwetnya jalur kereta api dan metro – yang menjadi penghubung antar kota dan antar distrik, bebas macet bebas polusi.

Teknologi juga berkembang amat pesat dengan hamparan solar panel hingga ke desa. Hampir semua atap rumah terpasang penghasil tenaga listrik ramah lingkungan – yang saya yakin jika diterapkan di negri kita, akan muncul perdebatan berabad-abad untuk alasan yang tak ada hubungannya dengan pengadaan listrik itu sendiri.

Jepang relatif negara kecil dibanding Indonesia. Yang pernah mengalami stunting lebih parah dari negri kita hari ini, bahkan dikenal saat perang dunia ke dua dengan tentaranya yang pendek- pendek.

Memang bukan hal yang perlu dibuat menjadi sentimen rasa iri, karena saya yakin kita juga bisa lebih dari mereka, asalkan Indonesia tidak kebablasan dengan istilah inovasi dan teknologi.

Pendidikan karakter dan kearifan memaknai kemajuan teknologi sudah saatnya ditekankan untuk bisa memberi batasan yang tegas, mana ranah teknokrat dan mana area kodrat, yang justru harus dipertahankan sesuai hak manusia yang bermartabat: salah satunya ketahanan pangan negara yang berdaulat.

Sangat aneh jika disebut harga pangan ‘tak terjangkau’, sementara bahan pangan itu melimpah tersedia secara lokal. Yang harganya ‘terjangkau’ justru produk-produk kemasan instan.

Sangat tidak adil jika kabupaten yang nilai kualitas bahan pangan tinggi juga terdapat prevalensi stunting dan malnutrisi yang tinggi.

Hanya karena kemiskinan listerasi dengan akibat memberi bayi sufor lebih bergengsi, apalagi jika ibu ikut bekerja demi sekarung nasi, merokok dianggap mendongkrak harga diri laki-laki, serta membeli aneka jajanan anak di mini market dianggap lebih keren ketimbang membuat kudapan di rumah.

Dan ketika kesehatan usus besar anak terganggu akibat produk kemasan itu, diresepkanlah probiotik berminggu-minggu.

Padahal kalau saja anaknya rajin makan sayur dan buah, ususnya otomatis sehat dengan probiotik alami yang hidup berkat prebiotik serat tidak larut sayur dan buah.

Barangkali kenapa kita susah sekali untuk maju seperti Jepang, mungkin karena pusaran lingkaran setan yang tak ada juntrungnya.

Dan setiap kali lingkaran itu berulang, kita kehilangan kearifan: ketidakmampuan untuk bisa membedakan mana yang butuh kecepatan dan mana yang butuh kesabaran serta ketelatenan.

Logikanya, dengan jumlah penduduk yang amat besar dan budaya yang beragam, produk Indonesia mestinya merajai swalayan di penjuru dunia dan kuliner kita lebih tersohor.

Tapi, mengapa Jepang yang kecil itu mampu memengaruhi penduduk bumi, bahkan anak-anak kita ikhlas makan ikan mentah sambil menikmati tayangan anime?

Kita butuh pimpinan daerah yang punya nyali menata kembali literasi masyarakatnya, yang makan seperti penduduk asli, yang sanggup melawan intervensi industri sebelum rakyatnya makan kenyang dari tanah airnya.

Tanpa perlu orang Papua impor beras dari tanah Jawa. Dan orang Kalimantan tak perlu meniru pendatang makan mantou terigu.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/12/15/090500320/dari-rasa-menjadi-petaka

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke