Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kemewahan Pangan Lokal untuk Wisatawan, Sementara Balita Makan Kemasan

Menempuh medan yang ‘biasa-biasa’ saja hingga yang ‘di luar kebiasaan’. Kolaborasi pemerintah pusat – daerah dan swasta menjadikan estafet pemahaman soal stunting, perbaikan gizi, sampai peningkatan kapasitas kader dimungkinkan.

Tak dapat dipungkiri, perut ini senantiasa bahagia diisi aneka hidangan dan lauk Nusantara sebagai kemewahan tak terperikan.

Namun, di setiap momen makan bersama, selalu terselip ungkapan sesal, heran sekaligus pertanyaan di luar nalar: Kok bisa ya, daerah dengan hasil pangan melimpah begini – angka stunting masih tinggi?

Suatu paradoks yang bukan hanya memalukan, tapi juga kondisi yang harus segera dibenahi.

Amat tidak masuk akal, jika turis atau wisatawan makan enak-enak bergelimpangan menu lokal, tapi gizi anak daerah jauh dari kata optimal.

Tanpa perlu menyalahkan siapa-siapa, sudah waktunya edukasi tidak lagi sebatas orasi, ceramah sana sini, sementara ibu-ibu muda ‘belajar’ memberikan makan bayinya melalui kanal medsos yang penuh sensasi.

Dimulai dari rasa tidak percaya diri, Air Susu Ibu kerap direndahkan oleh para tenaga kesehatan (nakes) yang pemahamannya nol besar tentang manajemen laktasi.

Di banyak daerah, perang pamer susu formula siapa yang paling mahal jadi ajang gengsi, bahkan pengurus Posyandu ada yang terang-terangan membagi sufor bagai etalase mini market – sebagai ‘daya tarik’ agar warga mau ke Posyandu katanya.

ASI sudah sering dilecehkan, diberi label asupan bayi miskin dan bikin kurus, bahkan dianggap egoisme para ibu yang memaksakan diri buat menyusui, sementara pertumbuhan bayi tidak optimal (padahal yang salah bukan ASInya, tapi perlekatan dan proses menyusu bayi yang gagal fokus).

Begitu pula banyak oknum nakes menganggap sepele makanan pendamping asi buatan rumah, disebut tak tertakar baik atau proses masak yang salah ‘menghilangkan nilai gizi’. Padahal, membuat bubur sederhana tidak perlu ada istilah ‘nilai gizi yang hilang’.

Sangat tidak bijak mendewakan bubur bayi kemasan yang justru diproduksi massal menggunakan panas tinggi industry, yang pastinya merusak antioksidan dan beberapa komponen nutrisi pangan utuh.

Menjadi ‘kelihatan bergizi’ karena imbuhan, penambahan eksternal yang dikenal dengan istilah ‘fortifikasi’.

Kebingungan para orangtua dan dorongan cara hidup praktis, membuat bayi-bayi Indonesia sejak awal telah mengenal aneka produk kemasan. Berbeda kualitas, tergantung kasta tentunya.

Pola asuh yang amburadul semakin menegaskan ‘perlunya’ produk-produk ini, karena mendidik para ibu belum tentu ‘masuk di otak’.

Ditambah lagi menghadapi proses pertumbuhan yang tidak sesuai, para ibu kembali didera iklan tanpa etika.

Masa tumbuh gigi yang menghabiskan 75% usia anak di bawah 2 tahun, menjadi momen horor risiko stunting muncul.

Kemampuan kunyah di bawah rata-rata, mirisnya kesehatan gigi dan mulut menjadi faktor utama anak sulit makan dan orangtua kesasar semakin jauh dengan produk kemasan yang ‘lebih praktis’ ketimbang masak sendiri dan dilepeh akhirnya terbuang.

Semua yang saya tuliskan di atas terjadi hingga pelosok kampung dan dusun. Apabila pemerintah daerahnya tidak cukup memberi perhatian, apalagi layanan kesehatannya terbelit kerja sama dengan industri, maka habislah sudah: gembar-gembor pangan lokal hanya jargon sesaat yang hanya muncul di jepretan kamera buat laporan ke pusat.

Makanan Kemasan dan Susu Formula Jadi Andalan

Balita kurus yang tersenyum malu-malu di balik daster ibunya, menggenggam wafer murahan atau ‘sosis siap santap’ harga seribuan, membuat saya merasa berdosa menikmati ikan bakar atau pepes ayam lezat di meja makan.

Bukan sang ayah miskin atau tidak paham gizi. Tapi yang selalu jadi alasan, anaknya tidak mau makan ikan dan ayam. Amis. Dibuang. Dilepeh.

Intervensi Puskesmas dan Posyandu bukan ranah saya untuk menilai. Tapi tak jarang, nakes dengan mudah menganjurkan susu formula. Bahkan, menganjurkan PKMK mahal itu – produk untuk kepentingan medik khusus – yang dikenal awam ‘susu tinggi kalori’ – apabila sang anak sudah jatuh dalam gizi kurang dan gizi buruk.

Di tatanan yang lebih dini, saat berat badan anak sebulan tidak naik, masih dianggap ‘baik-baik saja’ selama grafik pertumbuhannya masih ‘di kurva hijau’.

Padahal apabila tindakan efektif berhasil diterapkan, maka anak tidak bablas terjerumus masalah yang lebih berat.

Kerap kali berat badan tidak naik, tidak melulu masalah makanan, tapi cara pemberian makannya atau anaknya yang sedang bermasalah.

Namun banyak ibu terjebak dengan aneka menu MPASI ala-ala, yang bikin repot dengan bahan-bahan mahal fantastis di etalase online.

Nyatanya, memeriksakan anak untuk risiko anemia, infeksi saluran kemih, infeksi TBC atau sekadar jamur mulut yang mengganggu lebih efektif menuntaskan masalah.

Semoga di tahun yang baru ini, akses pangan lokal lebih diutamakan bagi konsumsi anak negri.

Kemudahan dan kemurahan mendapatkan pangan lokal bermutu menjadi agenda pemerintah, tanpa perlu gembar gembor aneka proyek yang sulit pengejawantahannya. Para orangtua lebih mampu menjadi panutan, ketimbang makan hasutan.

Dengan demikian, tidak ada lagi wilayah wisata berpanorama surga dan aneka sumber pangan sehat cuma jadi kemewahan turis yang makan nikmat.

Sementara, rakyat sendiri ditakut-takuti dengan informasi sliweran sosial media yang diulang bertahun-tahun: jangan makan ikan, nanti cacingan. Jangan makan tuna, merkurinya tinggi. Jangan makan telur, nanti bisulan. Jangan makan ayam, itu hasil suntikan. Jangan makan kacang-kacangan, isinya anti nutrisi.

Alhasil semua yang terbaik itu diboyong orang ke negeri seberang, dan anak bayi kita cukup puas makan hasil olahan industri di negri sendiri. Marah enggak?

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/12/28/090500320/kemewahan-pangan-lokal-untuk-wisatawan-sementara-balita-makan-kemasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke